Minggu, 23 Januari 2011

MASLAHAH MURSALAH


MASHLAHAH MURSALAH*

Pada zaman yang sudah maju seperti sekarang ini. Kadang hal-hal yang klasik sudah jarang diperhatikan sehingga terkesan di hilangkan dan di lupakan karena sudah tidak sesuai dengan zamannya lagi.
Begitu juda dengan permasalahan dalam islam yang begitu sangat global, sehungga manusia kadang melupakan aturan dan hukum dalam islam . Maka disini maslahah mursalah mempinyai peranan yang cukup penting dalam kehidupan manusia. Bisa lihat dari artinya yaitu prinsip kemanusiaan (kebaikan) yang dipergunakan dalam menetapkan suatu hukum islam. Juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat). Dari pembentukan hukum islam telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang harus dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu. Tujuan dan keinginan yang merusakan manusia dan agama sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syariatnya. Sehingga maslahah dapat memelihar tercapainya tujuan-tujuan syara.Yaitu menolak madarat dan meraih maslahah.

A.    Pengertian Maslahah Mursalah

Maslahah mursalah menurut lughat terdiri dari dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata maslahah berasal dari kata kerja bahasa arab yaitu :
مَصْلَحَةً-صُلْحًا–يَصْلُحُ- صَلَحَ

Yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata mursalahberasal dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu :


 
مرسلة-ارسالا-يُرسل-أرسل 

Menjadi yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahan (kebaikan) yang dipergunakan menetapka suatu hukum islam. Suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).
Menurut istilah Ulama usul ada bermacam-macam ta’rif yang diberikan diantaranya :

1. Imam Ar-Razi mena’rifkan sebagai berikut : 
بأنها عبارة عن المنفعة التي قصدها الشارع الحكيم لعباده في حفظ دينهم ونفوسهم وعقولهم ونسهم وأموالهم

Maslahah ialah, perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Musyarri’(Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya”.
2. Imam Al-Ghazali mena’rifkan sebagai berikut :
أَمَّا المَصْلَحَةُ فَهِيَ عِبَارَةِ فِيْ اْلأَصْلِ عَنْ جَلْبِ مَنْفَعَةِ أَوْ دَفْعِ مُضَرَّةِ
Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat”.
3.Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi, maslahah ialah:

اْلمُحَافَظَةِ عَلَى مَقْصُوْدِ الشَّارِعِ بِدَفْعِ المَفَاسِدِ عَنْ الخَلْق
Memelihara tujuh syara’ dengan jalan menolak segala Sesutu yang merusakkan makhluk”.
Ketiga ta’rif di atas mempunyai tujuan yang sama yaitu, maslahah memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’yaitu, menolak madarat dan meraih maslahah. Atau dapat juga Suatu kemaslahan yang tidak disinggung oleh syara dan tidak terdapat oleh dalil-dalil yang menyeluruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kamaslahatan.

B.     Syarat-Syarat Maslahah Mursalah
Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam pembentukan hukum (islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang harus dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak menjanjikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syariatnya.
Syarat-Syarat itu adalah sebagai berikut :
1.Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan. Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang mempunyai disiplin ilmu tentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan kepada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka.
2. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit.
3.Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari’. Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan syari‘. Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut, tidak sejalan denga apa yang telah dituju oleh islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.
4. Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, dimana nash yang sudah ada tidak membenarkannya, dan tidak menganggap salah.
C.     Macam-Macam Maslahah

Ulama ushul membagi maslahah kepada tiga bagian yaitu :
1.Maslahah Dharuriyah
Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila di tinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan, timbulah fitnah dan kehancuran yang hebat. Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara,yaitu agama,jiwa, akal, keturunan dan harta.
a). Agama, syariat yang di wajibkan untuk memelihara agama adalah kewajiban jihad (berperang membela agama) untuk mempertahankan akidah islamiyah.
b). Jiwa, syariat yang diwajibkan untuk memelihara jiwa adalah kewajiban untuk berusaha memperoleh makanan, minuman, dan pakaian untuk mempertahankan hidupnya.
c). Akal, syariat yang diwajibkan untuk memelihara akal adalah kewajiban untuk meninggalkan minum khamar dan segala sesuatu yang memabukan.
d). Keturunan, syariat yang diwajibkan memelihara keturunan adalah kewjiban untuk menghindarkan diri dari berbuat zina.
e). Harta, Syariat yang diwajibkan untuk memelihara harta adalah kewajiban untuk menjahui pencurian.

2. Maslahah Hajjiyah 
أَمَّا اْلمَصْلَحَةُ اْلحَاجِيَّةِ فَهِيَ عِبَارَةُ عَنِ اْلأَعْمَالِ وَالتَّصَرُّفَاتِ التِّيْ لاَ تَتَوَقَفُ عَلَيْهَا تِلْكَ اْلأُصُوْلِ الخَمْسَةِ بَلْ تَتَحَقَّقُ بِدُوْنِهَا وَلَكِنْ صِيَانَةِ مَعَ الضَيِّقِ وَاْلحَرَجِ

Maslahah Hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetapi juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan “.
Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, misalnya, qashar shalat, berbuka puasa bagi orang musyafir. Adat misalnya, dibolehkan berburu, memakan, dan memakai yang baik-baik dan yang indah-indah. Muamalat misalnya, dibolehkan jual beli secara saham, dibolehkan talak untuk menghindarkan kemaslahatan dari suami isrti bidang jinayat, menolak hudud lantaran adalah kesamaan-kesamaan pada perkara.
3. Maslahah Tahsiniyah
أَمَّا اْلمَصَالِحُ التَّحْسِيْنِيَّةُ فَهِيَ عِبَارَةِ عَنْ اْلأُمْوْرِ التِيْ تَفْتَضِيْهَا المُرُوْءَةِ وَمَكَارِمِ اْلأَخْلاَقِ وَمَحَاسِنِ اْلعَادَاتِ
“ Maslahah Tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak”.
Imam Abu Zahrah, menambahkan bahwa termasuk lapangan tahsiniyah, yaitu melarang wanita-wanita muslimah keluar kejalan-jalan umum memakai pakaian-pakaian yang seronok atau perhiasan-perhiasan yang mencolok mata. Sebab hal ini bias menimbulkan fitnah di kalangan masyarakat banyak yang pada gilirannya akan terjadi hal-hal yang tidak diinginan oleh keluarga dan terutama oleh agama.
Di antara contoh maslahah mursalah ialah usaha khalifah Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an yang terkenal dengan jamul Quran. Pengumpulan al-Quran ini tidak disinggung sedikit pun oleh syara tidak ada nash yang memerintahkan dan tidak ada nash yang melarangnya. Umar bin Khattab melihat kemaslahatan yang sangat besar mengumpulkan al-Quran itu, bahkan menyangkut kepentingan agama. Seandainya tidak dikumpulkan, dikhawatirkan al-Quran akan hilang dari permukaan dunia. Dalam mengistinbatkan hukum, sering kurang dibedakan antara Qisas, istihan dan maslahah mursalah. Pada murasalah terdapat dua peristiwa atau kejadian, (1). Tidak ada nash, karena hal tersebut belum ditetapkan hukumnya, (2). Ada nashnya dan telah ditentukan hukumnya. Pada istihan hanya ada satu peristiwa, tetapi terdapat dua dalil yang dapat dijadikan dasarnya. Dalil yang pertama lebih kuat yang kedua. Sedangkan pada maslahah mursalah hanya ada satu peristiwa dan tidak ada dalil yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa itu, tetapi ada satu kepentingan yang sangat besar jika peristiwa itu ditetapkan hukumnya.
Imam Al-Ghazali menggunakan istishlah sebagai kata yang sama dengan maslahat mursalah.
  1. Dasar Hukum
Para ulama yang menjadikan mursalah sebagai salah satu dalil syara, menyatakan bahwa dalil hukum. Maslahah mursalah ialah :

a.Persoalan yang dihadapi manusia selalu bertumbuh dan berkembang demikian pula kepentingan dan keperluan hidupnya. Kenyataan menunjukan bahwa banyak hal-hal atau persoalan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, kemudian timbu pada masa sesudahnya, bahkan ada yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Seandainya tidak ada dalil-dalil yang dapat memecahkan hal-hal yang demikian berarti akan sempitlah kehidupan manusia. Dalil itu ialah dalil yang dapat menetapkan mana yang merupakan kemaslahatan manusia dan mana yang tidak sesuai dengan dasar-dasar umum dari agama islam. Jika hal itu telah ada, maka dapat direalisir kemaslahatan manusia pada setiap masa, keadaan dan tempat.
b.Sebenarnya para sahabat, para tabi’in, tabi’t tabi’iin dan para ulama yang datang sesudahnya telah melaksanakannya, sehingga mereka dapat segera menetapkan hukun sesuai dengan kemashlahatan kaum muslimin pada masa itu. Khalifah Abu Bakar telah mengumpulkan Al-Quran, khalifah Umar telah menetapkan talaq yang dijatuhkan tiga kali sekaligus jatuh tiga, padahal pada masa Rasulullan SAW hanya jatuh satu, khalifah Usman telah memerintahkan penulisan Al-Quran dalam satu mushaf dan khalifah Ali pun telah menghukum bakar hidup golongan syiah dan radidhah yang memberontak, kemudian diikuti oleh para ulama yang datang sesudahnya.
  1. Objek Maslahah Mursalah
Yang menjadi objek maslahah mursalah ialah kejadian atau pristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tak ada satupun nash ( Al-Quran dan Hadist ) yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Prinsip ini disepakati oleh kebanyakan pengikut mahzab yang ada dalam Fiqh, demikian pernyataan Imam Al-Qarafi Ath-Thufi dalam kitabnya Mashalul mursalah menerangkan bahwa mashlahah mursalah itu sebagai dasar untuk menetapkan hukum dalan bidang muamalah dan semacamnya. Sedang dalam soal-soal ibadah adalah hak Allah SWT umtuk menetapkan hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap hikmah ibadah itu. Oleh sebab itu hendaklah kaum muslimin beribadah sesuai dengan ketentuannya yang terdapat dala Al-Quran dan Hadist.
Menurt Iman Al-Haromain : menurut pendapat Imam Asy-Syafi’i dan sebagian besar pengikut mahzab hanafi, menetapkan hukum dengan mashlahah mursalah harus dengan syarat harus ada persesuaian dengan mashlahah mursalah yang diyakini, diakui dan disetujui oleh para ulama.
  1. Kehujjahan Maslahah Mursalah 
Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul diantaranya :
  1. Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah / dalil menurut ulama-ulama syafi’iyyah, ulama-ulama hanfiyah dan sebagian ulama malikiyah, seperti Ibnu hajib dan ahli zahir.
  2. Maslahah mursalah dapat menjadi hujah / dalil menutut sebagian ulama maliki dan ulama syafi’i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah di tentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur hanafiyyah dan syafi’iyyah mensyaratkan tentang masalah ini, hendaknya dimasukan di bawah qiyas yaitu bila terdapat hukum ashl yang dapat di qiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehingga dalam hubungan hukum itu terdapat tempat untuk merealisir kemaslahatan.
  3. Imam Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah :
إِنَّ اْلمَصْلَحَةَ اْلمُرْسَلَةَ فِيْ جَمِيْعِ اْلمَذَاهِبِ عِنْدَ التَّحْقِيْقِ ِلأَنَّهُمْ يَقِيْسُوْنَ وَيُفَرِّقُوْنَ بِالمُنَاسَبَات وَلاَ يَطْلِبُوْنَ شَاهِدًا بِالإِعْتِبَارِ

Sesungguhnya berhujjah dengn maslahah mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena mereka melakukan qiyas dan mereka membedakan antara satu dengan lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat”.
Diantara ulama yang paling banyak melakukan atau menggunakan maslahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan : Allah mengutus utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahatan.

DAFTAR PUSTAKA
Umar, Muin,dkk. 1986.Ushul Fiqh . Jakarta. Proyek pembinaan prasarana dan IAIN
Chaerul, dkk. 2000. Ushul Fiqih I. Bandung : Pustaka Setia
Syafe’i, Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung : Pustaka Setia
Khallaf, Abdul Wahab. Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqih. Mojokerto : pustaka Amani. 2002

*) Oleh Zaenal Abidin Mahasiswa STAI An-Nawawi Purworejo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...