Jumat, 21 Januari 2011

Makalah Batasan Ijtihad

Kaidah Batasan Ijtihad
Oleh
Zaenal Abidin*

PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Ijtihad merupakan sebuah media elementer yang sangat besar peranannya dalam konstruksi hukum-hukum Islam (Fiqh). Tanpa peran ijtihad, mungkin saja konstruksi hukum Islam tidak akan pernah berdiri kokoh seperti sekarang ini dan ajaran Islam tidak akan mampu menjawab tantangan zaman dengan berbagai problematikanya. Dengan demikian, ijtihad adalah sebuah keniscayaan dalam Islam.
Namun harus pula diakui bahwa ijtihad merupakan faktor utama pemicu perbedaan pendapat dan kontradiksi hukum antar ulama. Pertentangan yang selama ini berlangsung dikalangan fuqaha misalnya, adalah akibat perbedaan metodologi ijtihad yang mereka gunakan. Tapi justru dari situlah khazanah keilmuan Islam terlihat begitu kaya dan anggun di tengah polemik intelektual yang variatif dan semarak. Dan hal itu tidak perlu disesalkan, sebab perbedaan metodologi yang diakibatkan oleh perbedaan pendapat mendapat legitimasi syariat.
Persoalannya, tentunya mengenai batasan ijtihad. Dan jika ijtihad telah mendapat legitimasi, akankah produk hukum yang dicapai melalui proses ijtihad dapat dianulir oleh ijtihad lain dan khususnya hukum suatu perbuatan ada batasannya?. Yang tentunya dalam naskah sederhana ini membahas mengenai kaidah-kaidah yang kiranya berkenaan dengan batasan-batasan hal tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi dari ijtihad?
2.      Kaidah apa saja yang kiranya berkenaan dengan batasan ijtihad?

PEMBAHASAN
A.    Definisi, Ruang Lingkup dan Subyek Ijtihad
Kata Ijtihad secara etimologi merupakan bentuk mashdar dari konjugasi (tashrif) kata ijtahada-yajtahidu-ijtihadan yang mengandung pengertian usaha keras dan pengerahan segala kemampuan untuk mencapai maksud tertentu. Sedangkan Ijtihad menurut ulama’ Ushul Fiqh dapat didefinisikan dengan mengerahkan segala tenaga dan pikiran dalam hukum syara’ pada masalah tertentu dengan jalan mengkaji dan meneliti nash-nash al-Qur’an dan Sunnah.[1] Sedangkan definisi yang bersumber dari wikipedia memberikan pengertian ijtihad lebih luas dengan sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.[2]
Dan dasar melakukan ijtihad tentunya sudah diketahui bersama yaitu,  Sahabat Mu'adz bin Jabal ketika Nabi Muhammad saw akan mengutusnya ke Yaman untuk bertindak sebagai hakim beliau bertanya kepda Mu'adz apa yang kamu lakukan jika kepadamu diajukan suatu perkara yang harus diputuskan? Mua'dz menjawab, "Aku akan memutuskan berdasarkan ketentuan yang termaktub dalam Kitabullah(al-Qur’an)". Lalu Nabi bertanya lagi "Bagaimana jika dalam Kitab Allah tidak terdapat ketentuan tersebut?" Mu'adz menjawab, " Dengan berdasarkan Sunnah Rasulullah". Nabi bertanya lagi, "Bagaimana jika ketentuan tersebut tidak terdapat pula dalam Sunnah Rasullullah?" Mu'adz menjawab, "Aku akan menjawab dengan pikiranku(ijtihadku), aku tidak akan membiarkan suatu perkara tanpa adanya putusan" , lalu Mu'adz mengatakan, " Rosullulah kemudian menepuk dadaku seraya mengatakan, segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepada utusanku untuk hal yang melegakan".
Dan sebagai konsekuensi atas konsepsi ijtihad ini, terdapat dua kemungkinan yang akan timbul kemudian. Pertama, jika ijtihad tersebut sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah; ijtihad yang benar (shawab), maka pelaku ijtihan akan memperoleh dua pahala, yakni pahala ijtihad dan pahala menggapai kebenaran. Kedua, jika ijtihad itu ternyata tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah swt; ijtihad yang salah (khatha’), maka hanya mendapat satu pahala, yakni pahala ijtihad saja. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang berarti:
 Barang siapa melakukan ijtihad dan benar, ia mendapat dua pahala. Dan jika ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala.
Sedangkan ruang lingkup ijtihad ialah furu' dan dhoniah yaitu masalah-masalah yang tidak ditentukan secara pasti oleh nash Al-Qur'an dan Hadist. Hukum Islam tentang sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil Dhoni atau ayat-ayat Al-qur'an dan hadis yang statusnya dhoni dan mengandung penafsiran serta Hukum Islam tentang sesuatu yang sama sekali belum ditegaskan atau disinggung oleh Al-qur'an, hadist, maupan ijma' para ulama' serta yang dikenal dengan masail fiqhiah dan waqi’yah.
Sebagaimana pendapat Mu’tashim Billah dalam kitabnya Dirasah wa al-Tahqiq li al-Asybah wa al-Nazha’ir yang dinukil oleh Mas Bembengs mengatakan bahwasanya ijtihad yang dimaksud dalam kaidah ini sebenarnya berlaku dalam skala yang sangat luas, baik bagi mujtahid maupun setiap muslim yang belum mencapai kapsitas mujtahid. Artinya, ijtihad dalam kaidah ini tidak hanya berlaku dalam pengertian secara terminologis yang hanya membatasi ladang ijtihad bagi para mujtahid(yang memerlukan persyaratan sebagaimana yang dipaparkan di atas). Ijtihad di sini lebih mengarah pada makna ijithad secara leksikal (lughawi), yaitu usaha maksimal seseorang dalam menentukan status hukum bagi beragam masalah yang dihadapi, dimana setiap orang mujtahid ataupun bukan, bisa bisa melakukannya.[3]
Seseorang yang ingin mendudukkan  dirinya  sebagai  mujtahid tentunya harus  memenuhi  beberapa  persyaratan.  Diantara  sekian persyaratan yang telah diutarakan ulama’  ushul  antara lain :
1.    Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur'an yang hubungan dengan masalah hukum, dengan pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.            
2.     Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits  Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali hukum.      
3.     Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma' agar ia tidak berijtihad yang hasilnya bertentangan dengan ijma'.           
4.     Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.     
5.     Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam bahasa Arab yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik  dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an.
6.     Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam al-Qur'an dan Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi yang telah dinasakh(mansukh) untuk menggali hukum.
7.    Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbabun nuzul) dan latar belakang suatu Hadits (asbabul wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara tepat.
8.    Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia  dapat menilai sesuatu Hadist, apakah Hadits itu dapat diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan derajad/nilai suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi yang  lazim disebut dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan melakukan ta'dil tajrih (screening).
9.    Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hukum dan sanggup mempertahankannya.
10.       Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar dengan kaidah-kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu permasalahan yang akan diketahuinya.
B.     Kaidah-Kaidah Ushuliyyah
1.      Kaidah Awal
لا مَساعَ لِلاِجتِهادِ في مَورِالنَص
Artinya : “Ijtihad tidak memiliki tempat berhadapan dengan penjelasan nash.”[4]
Dari kaidah ini ijtihad terbagi menjadi dua bagian :
a.       Ijtihad memahami makna nash. Hal ini dilakukan jika makna makana teks al-Qur’an atau as-Sunnah masih kurang jelas. Seperti sabda Rasullulah SAW. :
اِذَا بَلَغَ المأُ قُلتينِ لَم يَحمِل الخَبثَ
Artinya : “Jika air telah terkumpul dua kullah maka tidak mengandung kotoran”.
Dalam menaggapi hadist ini para ulama’ ushul berbeda pendapat mengenai arti dan makna  dua kullah.  
b.      Ijtihad dengan jalan menempelkan hukum baru dengan hukum yang telah ditetapkan nash melalui jalur  analogy, maslahah atau selain keduanya dari jenis dalil-dalil kokemplenter yang sering digunakan dalam antuk melakuktivitas ijtihad. Dalam makalah ini hal tersebut dibagi dua;
Bagian pertama :
Jika nash jelas dan terang maknanya sehingga tidak ada kaburan maka yang wajib dilaksanakan adalah ketenruan nash tersebut secara sempurna sehingga orang dilarang untuk melakukan ijtihad. Definisi inilah yang tersimpul dalam kaidah tersebut di atas.
Misal, dalam al-Quran dan Hadist menjelaskan mengenai shalat dengan berbagai ketentuannya maka dalam masalah tersebut ijtihad untuk melegitimasinya tidak dierlukan lagi bahkan dilarang, karena ketentuan hukumnya sudah jelas.
Tentunya jika nash tidak jelas maknanya maka kita diperbolehkan menggunakan akal dan ijtihad untuk memahaminya sesuai dengan aturan gramatikal bahasa Arab dan dalil-dalil lain dengan syarat tidak bertabrakan dengan dalil-dalil syarat yang jelas dan terang.
Bagian kedua :
Jika hasil ijtihad bertabrakan dengan ketentuan nash, maka ijtihad tersebut harus dibatalkan dan tidak memiliki kekuatan hukum.
Sebagai contoh, sabda Rasullulah SAW. :
البَينةُ على المُدعِي واليَمينُ على مَن أَنكر
Artinya : “Kewajiban mendatangkan bukti terletak diatas pundak penggugat dan sumpah diwajibkan terhadap tergugat. Jadi,
v  Penggugat wajib mendatangkan bukti.
v  Tergugat wajib bersumpah bahwa gugatan tersebut tidak benar.
Sehingga di sini jelas bahwasanya tidak boleh ada ijtihad yang dimaksudkan untuk mengubah keputusan tersebut di atas.                 
2.      Kaidah Kedua
الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد
Artinya : “ketentuan hokum yang berdasarkan tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad yang lain.”
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab ra, selama sepuluh tahun masa pemerintahannya banyak menelorkan produk hukum yang “tidak sesuai” dari keputusan yang telah diambil pendahulunya, Abu Bakar al-Shidiq ra. Akan tetapi, Umar ra. bersikap sangat bijak dengan tidak menganulir hukum yang telah ditetapkan Abu Bakar. Bahkan, Umar juga pernah merubah keputusan hukum yang pernah diambilnya sendiri pada tahun pertama dengan keputusan baru pada tahun berikutnya.[5] Saat dimintai tentang kejelasan sikapnya ini, Umar mengatakan:

ذلك على ما قَضَينا وهذا على ما قَضَينا[6]
“Ketentuan hukum yang pernah aku cetuskan itu adalah atas keputusanku. Sementara ini (ketentuan hukum yang baru) adalah hal yang sekarang aku putuskan.”
Dari statemen ini, secara tidak langsung Umar ra. telah memberikan ketegasan bahwa segala keputusan yuridis yang sebelumnya telah diambil oleh pendahulunya, Abu Bakar ra. tetap dihukumi sah sebagaimana keputusan yang telah diambilnya lalu diubahnya sendiri . berangkat dari perspektif inilah, para ulama kemudian mengambil penafsiran hukum bahwa ijtihad Umar ra. tidak dapat mengubah ijtihad Abu Bakar. Dan dari sisi ini pula, tercetuslah sebuah konsensus (ijma’) sahabat, bahwa al-Ijtihad la yunqadlu bi al-Ijtihad, sebagaimana yang dilansir oleh al-Suyuthi.
Disamping landasan ijma’ yang telah dikemukakan diatas, alasan tiadanya penganuliran hasil adalah karena ijtihad kedua belum tentu lebih kuat dibandingkan ijtihad yang pertama , disamping karena keduanya sama-sama diperoleh dari proses ijtihad yang sulit dan berbelit-belit. Hal yang membedakan keduanya cuma konteks waktu yang tidak bersamaan ketika diputuskan. Selain itu, jika sering terjadi penganuliran produk hukum, maka yang akan timbul adalah tiadanya kepastian hukum bagi masyarakat, sebagaimana yang telah dijelaskan di muka. Hal ini juga akan berdampak pada goyahnya tatanan lembaga peradilan yang menangani masalah-masalah yuridis.
Contoh :
a.       Seorang qadhi(hakim) memutuskan telah menolak persaksian mereka tidak bias dijadikan sebagai saksi lagi. Setelah keputusan tersebut, tidak boleh seorangpun untuk mengubahnya dan memutuskan bahwa mereka itu layak dijadikan saksi. Namun jika mereka siap menjadi saksi dalam masalah yang lain dimungkinkan kesaksian mereka bias diterima.[7]
b.      Berubahnya ijtihad seseorang  pada arah sholat(kiblat)  ketika sudah ditengah-tengah sholat sehingga secara spontan dia membalikkan arah sholat sesuai ijtihad yang terakhir. Akan tetapi raka’at awal sebelum ijtihad yang kedua tetap sah, karena suatu ijtihad tak dapat menghilangkan ijtihad yang lain(baru).
c.       Atau Syekh Abul Hamid memberikan contoh dengan seorang hakim yang menhukumi sesuatu lalu ijtihadnya berubah, mak ijtihad yang terakhir tak dapt mengubah keputusan yang awal.[8]

Apabila ada seseorang telah menetapkan(yakin) akan suatu keputusan hukum, sementara pada saat yang lain ia menghadapi permasalahan yang sama, maka langkah yang ditempuhnya masih diperselisihkan oleh fuqaha. Adapun perbedaan tersebut disampaikan Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad bin Abd al-Mu’min al-Hishny dalam Kitab karangannya yang berjudul Kitab al-Qawa’id, Maktabah Al-Rusydu yang telah dinukil ole Mas Bembengs:
Pertamaia wajib mengulangi ijtihad secara mutlak. Kewajiban ini berdasarkan pertimbangan adanya kemungkinan perubahan hasil ijtihad, disamping kemungkinan permasalahan yang diteliti pada ijtihad pertama tidak sama persis seperti yang terjadi pada ijtihad yang kedua.
Kedua, tidak wajib mengulangi secara mutlak. Karena pada dasarnya mujtahid tidak akan menyandarkan penelitiannya pada kasus kedua terhadap sesuatu yang belum pernah ia lakukan pada tahap awal. Artinya, menurut pendapat kedua ini, ia telah lengkap melakukan observasi yang dapat dipertanggung jawabkan saat melakukan ijtihad yang pertama, sehingga ia tidak perlu melakukan ijtihad baru karena latarbelakangnya yang cenderung sama.
Ketiga, harus dirinci secara objektif. Rincian pertama, apabila mujtahid masih mengingat metode ijtihad yang pertama, maka ia tidak perlu mengulangi ijtihadnya, karena pada dasarnya ia tidak dikatakan sebagai orang yang pernah melakukan ijtihad. Pendapat ini didukung oleh Fakhr al-Din al-Razi, al-Amudiy, dan Taj al-Din al-Subuki. Pendapat inilah yang paling sesuai dengan kaidah al-ijtihad la yunqadl bi al-ijtihad.[9]

3.      Kaidah Ketiga
ماثَبَتَ على خِلافِ القِياس فغَيرُهُ لا يُقا سُ عليه
Artinya : “ Ketentuan hukum yang dilandasi bukan dengan qiyas maka kasus selainnya tidak dapat diqiyaskan kepadanya.”
Agar dapat mudah dipahami maka dapat diperhatikan contoh berikut ini :
Si Cemong menggunakan laptopnya Obama tanpa izin terlebih dahulu. Jika Cemong mengembalikan barang tersebut maka dia tidak wajibkan untuk membayar  sebagai ganti rugi pemanfaatan laptop olehnya.
Selanjutnya menggunakan laptop tanpa izin (ghasab) tersebut tidak boleh menjadi sandaran analogy dengan ijarah. Hal tersebut karena ijarah diperbolehkan secara jelas dalam fiqh.
ِ
4.      Kaidah Keempat
اِذازالَ المانِعُ عادَ المَمنُوعُ[10]
 Artinya : “Jika penghalang telah lenyap maka hal yang terlarang telah kembali dibolehkan”
Penghalang  adalah sesuatu yang mengahalangi terwujudnya sesuatu yang lain, meskipun telah mencukupi syarat dan ukunnya. Dengan adanya penghalang ini maka ada beberapa ketentuan hukum yang tidak dapat dilaksanakan dan bersifat statis sehingga penghalang tersebut bisa dilenyapkan. Jika penghalang tersebut telah hilang/lenyap maka ketentuan semua hukum tersebut akan kembali lagi.
Contoh :
a.       Dulkamdi membeli sebuah barang dari Cendil, kemudian dia mendapati adanya kecacatan lama pada barang tersebut. Maka Dulkamdi diperbolehkan untuk mengembalikan barang tersebut kepada Cendil karena alasan kecacatan. Namun jika Dulkamdi sendiri yang membuat kecacata baru pada barang tersebut maka dia tidak berhak untuk mengembalikannya dengan alasan kecacatan yang lama. Hanya jika Dulkamdi dapat memperbaiki kecacatan baru yang dibuatnya itu, maka dia berhak untuk mengembalikannya dengan alasan kecacatan yang lama.
b.      Jika Ahsan menghibahkan suatu barang kepada Ronaldo dan menyerahkan barang tersebut, kemudian dia ingin mengambil kembali barang itu maka dia dapat melakukannya selama barang yang dihibahkan tersebut masih keadaan yang asli. Namun jika Ronaldo tersebut melakukan perubahan maupun penambahan padanya, maka Ahsan tidak dibolehkan lagi untuk meminta kembali barang tersebut, karena penerima telah mengeluarkan kost dan belanja sehingga kemungkinan timbulnya perselisihan dan konflik tidak bias dihindarkan.
5.      Kaidah Kelima
ما حَرُمَ أَخدُهُ حَرُمَ اِعطأُهُ
Artinya : “Sesuatu yang haram diambil, maka haram pula diberikan.”
Haram adalah suatu sifat yang menempel pada barang atau sesuatu yang diharamkan dan meliputi semua bagiannya sehingga tidak dapat dipisahkan, seperti haramnya riba dan risywah Mengambil riba itu dilarang dan demikian juga memberikannya. Jika tidak ada yang memberi tentu tidak ada yang menerima dan jika tidak ada penerima tentu tidak wujud yang memberi.
                Begitu juga halnya dengan khamar haram menjual, menghutangi, memberi dan menghadiahkan. Juga upah yang diberikan pada orang yang disuruh menangis karena ada kematian. Namun ada sedikit pengecualian yang dibolehkan kepada yang memberi dan dilarang pada pihak yang menerima seperti suap demi mengambil kembali hak yang dirampas. Bila memang hanya dengan cara itu saja bisa dikembalikan, tentuntya dengan alasa darurat. Begitu juga membayar uang sogok kepada orang yang mengghosob/merampas harta supaya harta tersebut dikembalikan kepada tuannya. Si pemberi diperbolehkan memberikannya karena alasan darurat sedangkan Si penerima dilarang menerimanya.
Menurut Imam Suyuthi kaidah ini hampir sejalan dengan kaidah :
ما حَرُمَ  فِعلُه ُ حَرُمِ  َطَلبُهُ[11]
Artinya : “ Sesuatu yang haram dilakukan maka haram diminta”.

  1. Simpulan
Setelah memahami, membuat dan mempelajari makalah ini maka penulis dapat menyimpulkan:
1.      Ijtihad secara etimologi merupakan bentuk mashdar dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtihadan yang mengandung pengertian usaha keras dan pengerahan segala kemampuan untuk mencapai maksud tertentu. Dan Ijtihad menurut ulama’ Ushul Fiqh dapat didefinisikan dengan mengerahkan segala tenaga dan pikiran dalam hukum syara’ pada masalah tertentu dengan jalan mengkaji dan meneliti nash-nash al-Qur’an dan Sunnah. Walaupun ada yang memberikan definisi lebih luas dengan sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
2.      Aadapun beberapa kaidah yang kiranya berkenaan dengan batasan ijtihad yang dibahas ada 5 kaidah :
a.       Kaidah Awal
لا مَساعَ لِلاِجتِهادِ في مَورِالنَص
Artinya : “Ijtihad tidak memiliki tempat berhadapan dengan penjelasan nash.”
b.      Kaidah Kedua
الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد
Artinya : “Ketentuan hokum yang berdasarkan tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad yang lain.”
c.       Kaidah Ketiga
ماثَبَتَ على خِلافِ القِياس فغَيرُهُ لا يُقا سُ عليه
Artinya : “ Ketentuan hukum yang dilandasi bukan dengan qiyas maka kasus selainnya tidak dapat diqiyaskan kepadanya.”
d.      Kaidah Keempat
اِذازالَ المانِعُ عادَ المَمنُوعُ
 Artinya : “Jika penghalang telah lenyap maka hal yang terlarang telah kembali dibolehkan”
e.     Kaidah Kelima
ما حَرُمَ أَخدُهُ حَرُمَ اِعطأُهُ
Artinya : “Sesuatu yang haram diambil, maka haram pula diberikan.”



Daftar Pustaka

As-Suyuthi, Imam Jalaluddin. 2007. Al-Asybah wa An-Nadhair. Maktabah Ats-Tsaqafi Li An-Nasyri Wa At-Tauzi’ : Kairo

Hakim, Abdul Hamid. Mabadii Awwaliyyah. Maktabah As-Sa’adiyyah Putra : Jakarta http://id.wikipedia.org/wiki/Ijtihad




Nuryadi, Ahmad. Fiqh Legal Maxim(Muamalat Institiut), (tt, np)









[1] Abdul Hamid Hakim. Mabadii Awwaliyyah. (Jakarta, Maktabah As-Sa’adiyyah Putra, tt), hlm. 19
[4] Ahmad Nuryadi. Fiqh Legal Maxim(Muamalat Institut)(tt :np), hlm. 83
[6] Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Al-Asybah wa An-Nadhair. (Maktabah Ats-Tsaqafi Li An-Nasyri WA At-Tauzi’ : Kairo, 2007), hlm. 139
[7]   Op. Cit. Ahmad Nuryadi. Fiqh Legal Maxim,…. hlm. 86-87
[8] Op. Cit., Abdul Hamid Hakim …… hlm. 43
[10] Op. Cit. Ahmad Nuryadi. Fiqh Legal Maxim,…., hlm. 89
[11]  Op. Cit., Imam Jalaluddin As-Suyuthi ......hlm. 201

*) Mahasiswa STAI An-Nawawi Berjan Purworejo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...