Kamis, 16 Desember 2010

Ekinomi Moneter : Mata Uang Dan Fungsinya

Perkembangan ekonomi memerlukan suatu alat tukar yang penggunaannya kekal sepanjang zaman. Alat tukar yang paling tahan itu ialah barang-barang dari logam, seperti : emas, perak, dan tembaga. Adanya perdagangan menimbulkan kebutuhan akan adanya mata uang. Misalnya, orang yang akan membeli makanan dengan kain, dari manakah dia mengetahui nilai yang sama untuk harga makanan itu, sedangkan dalam pergaulan menghendaki terjadinya jual beli antara barang yang berbeda, seperti kain dengan makanan, hewan dengan kain. Padahal barang-barang itu tidak sama harga atau nilainya. Oleh karena itu, disinilah pentingnya alat tukar yang bernama mata uang itu. Menurut Imam Al-Ghazali (450–505 H / 1058–1111 M), bahwa sejarah membuktikan bahwa pada zaman sebelum Nabi Muhammad SAW, orang Arab sudah mengenal adanya mata uang, tetapi semuanya dari luar. Mereka mengenal mata uang emas, yaitu Dinar dari Romawi dalam perdagangan mereka ke Utara (Syiria), dan
mengenal mata uang perak, yaitu Dirham dari Persia dalam perdagangan mereka ke Selatan (Yaman). Barulah pada tahun ke-15 H/536 M, yaitu 4 tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW – Khalid bin Walid – pahlawan Islam terkenal itu membuat mata uang sendiri di Thabariyah, daerah Syiria. Dalam pembuatan mata uang pertama itu masih meniru mata uang Romawi. Ia melukisnya dengan gambar, salib, mahkota, dan tongkat kebesaran, sedangkan di sebelahnya ada tulisan dengan huruf Yunani BON.
Sedangkan mata uang logam perak – Dirham Islam dibuat tahun 28 H/648 M di Thabaristan (Persia), di mana pada pinggiran mata uang itu ada huruf Arab dengan huruf Kaufah, yaitu Bismillahi Rabbi. Adapun mata uang Islam yang pertama kali dicetak oleh kantor percetakan negara Islam baru terjadi pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari dinasti Bani Umayyah (65-86 H/685-705 M), sesudah merundingkannya dalam musyawarah dengan para ulama dan pemuka. Maksud pembuatan mata uang itu diketahui oleh Keizer Romawi yang menganggapnya telah merusak hubungan ekonomi antara Arab dan Romawi. Ia mengirimkan surat ancaman kepada Khalifah Abdul Malik agar menghentikan usahanya itu demi hubungan baik antara kedua negara. Kalau diteruskan juga, tulisan atas nama mata uang harus ditambahkan kata-kata yang tiada sangkut pautnya dengan Islam atau kata-kata yang menghina Nabi SAW. Ancaman tersebut menyebabkan Abdul Malik menganggapnya sebagai kebulatan pendapat dari seluruh umat, termasuk oposisi di masa itu, yaitu partai Syi’ah. Oleh karena itu, ia mengundang pemimpin partai oposisi, Muhammad Al-Baqir untuk datang ke ibu kota Damaskus untuk merundingkan soal yang penting itu. Undangan tersebut dipenuhi oleh pemimpin Syi’ah dan berakhir dengan persetujuan bulat atas maksud baik Khalifah Umayyah, demi kebangkitan perekonomian umat Islam. Dalam mata uang Dinar dan Dirham itu dilukis kalimah tauhid dan disebelahnya ditulis nama Nabi SAW, serta menyebut nama negeri, dan tahun mencetaknya. Mata uang Islam yang pertama ini diberi nama Dimaskiyah, sesuai dengan nama kota tempat mencetaknya, Damaskus. Khalifah mengirimkan mata uang itu ke seluruh negara, memerintahkan supaya seluruh mata uang Romawi dan Persi dibekukan, serta tidak boleh beredar lagi. Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa mata uang berfungsi sebagai alat tukar dan nilai harga dalam seluruh transaksi ekonomi, ditetapkan menurut mata uang sendiri. Oleh karena itu, Al-Ghazali mengecam orang yang menimbun uang. Orang demikian dikatakannya sebagai penjahat. Yang lebih buruk lagi adalah orang melebur dinar dan dirham menjadi perhiasan emas dan perak. Mereka ini dikatakannya sebagai orang yang tidak bersyukur kepada Sang Pencipta dan kedudukannya lebih rendah dari orang yang menimbun uang, karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran, sednagkan meleburnya berarti menarik dari peredaran selamannya. Peredaran uang palsu sangat dikecam Al-Ghazali karena kandungan emas/peraknya tidak sesuai dengan yang ditetapkan oleh pemerintah. Mencetak uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang itu dipergunakan dan akan merugikan siapa pun yang menerimanya dalam jangka waktu lama. Al-Ghazali memperbolehkan uang yang tidak terbuat dari emas/perak, seperti uang logam dan uang kertas yang saat ini banyak digunakan asalkan pemerintah menyatakannya sebagai alat bayar resmi dan demikian juga pendapat Ibnu Khaldun, hanya saja pemerintah wajib menjaga nilai uang yang dicetaknya karena masyarakat menerimanya tidak lagi berdasarkan berapa kandungan emas/perak didalamnya. Misalnya, pemerintah mengeluarkan uang nominal Rp 10.000 yang setara dengan ½ gram emas. Apabila kemudian pemerintah mengeluarkan uang nominal Rp 10.000 seri baru dan ditetapkan nilainya setara dengan ¼ gram emas, maka uang akan kehilangan makna sebagai standar nilai. Namun Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah melarang perdagangan mata uang Dinar dengan Dinar karena akan menghilangkan fungsi dari uang itu sendiri, di samping akan menimbulkan inflasi. Seperti pasar uang yang terjadi saat ini, di mana sebagian besar uang dipergunakan untuk memperdagangkan uang itu sendiri.
Sedangkan menurut Ibnu Khaldun, mata uang berfungsi sebagai alat penukar dan pengukur harga sebagai nilai usaha, alat perhubungan, dan alat simpanan dalam bank-bank.
Sumber : Zonaekis.com

Sabtu, 04 Desember 2010

Uang Dengan Internet

Banyak sekali peluang bisnis yang bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi web saat ini. Mulai dari internet marketer, sampai dengan jasa pengembangan aplikasi web. Barusan ini Microsoft merilis tool untuk mempermudah modifikasi aplikasi-aplikasi web yang sudah terkenal seperti blogs engine dengan Wordpress, Commerce/Toko Online dengan nopCommerce, Website CMS dengan Dotnetnuke, Forum, Wiki, Forum Diskusi online dan banyak lagi yang bisa dikembangkan sendiri dari template yang ada. Yang menarik, Microsoft tidak hanya mendukung ASP.NET platform nya, tapi juga PHP, yang tentu saja lebih mudah digunakan. 

WebMatrix dapat di download menggunakan Web Platform Installer. Silahkan download disini, gratis. Dengan WebMatrix, anda dapat menginstall aplikasi-aplikasi web menggunakan wizard tanpa harus memahami banyak hal mengenai internet Web Server. Saat aplikasi anda sudah siap untuk di hosting, anda dapat melakukan deployment/publishing dengan mudah juga dibantu oleh WebMatrix. 

Tools ini baik sekali buat pemula bisnis web, yang dengan kemampuan HTML/CSS/JavaScript/PHP saja sudah bisa membuat aplikasi. Banyak sekali buku-buku pendukung berbahasa Indonesia yang bisa jadi acuan dan dengan WebMatrix, learning curve nya jadi cepat sekali. 

Saya baru install WebMatrix, dan sangat merekomendasikan tools ini buat temen-temen disini. Setelah belajar instalasi, anda bisa mulai belajar modifikasi sesuai pesanan pelanggan. 

Peluang bisnisnya? Diluar sana banyak sekali produk yang menarik, simply dengan ngembangin toko online misalnya, anda bisa menjual jasa pengembangannya. nopCommerce untuk toko online sangat cocok. Selain itu? Banyak sekali perusahaan yang butuh website CMS, dengan WebMatrix, anda bisa memilih banyak CMS engine yang bisa dijadikan framework. Modalnya simple, belajar web design untuk buat HTML dan pahami templating di CMS. Pekerjaan modifikasi template biasanya hanya memakan waktu 1-2 minggu, dan anda bisa menjual jasanya mulai harga 5-10 jt. Ada temen saya yang focus di aplikasi joomla dan wordpress. Kerjain dirumah (part time) bisa menghasilkan 20 jt per bulan. Menarik kan???

So buat anda yang mau mulai bisnis di internet peluang sangat besar. Coba berpikir kreatif dengan memberikan layanan yang terintegrasi dengan Social Network, misalnya, toko online yang ada facebook group nya, Twitter feed nya, Windows Live messenger connect nya. Dengan tambahan fitur-fitur itu, anda bisa menjual jasa lebih besar. 

Website yang perlu anda kunjungi cuma satu:

http://www.microsoft.com/web/webmatrix/

Sumber : vivanews.com

HARMONISASI KEDUDUKAN HAK ULAYAT DALAM PERATURAN PERUNDANGAN DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan kepada pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk dapat mengelola bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dengan sebaik-baiknya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Yang dimaksud dengan rakyat adalah seluruh penduduk Indonesia termasuk di dalamnya masyarakat adat.
Berbicara mengenai masyarakat adat atau masyarakat hukum adat, tidak bisa dilepaskan dengan adanya hak ulayat. Hak ulayat sebagai istilah teknis yuridis adalah hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang/kekuasaan mengurus dan mengatur tanah seisinya dengan daya laku ke dalam maupun keluar.
Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak-haknya dinyatakan dalam Pasal 18B ayat (2) (Amandemen kedua) menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Dan juga pada Pasal 28i ayat (3) (Amandemen Kedua) menyebutkan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

II. KEDUDUKAN HAK ULAYAT DALAM PERATURAN PERUNDANGAN DI INDONESIA
Seperti telah disebutkan bahwa pengakuan tentang keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya tertuang dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28i ayat (3), namun dalam kenyataannya pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional, yang biasa disebut hak ulayat, seringkali tidak konsisten dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Titik berat hak ulayat adalah penguasaan atas tanah adat beserta seluruh isinya oleh masyarakat hukum adat. Penguasaan di sini bukanlah dalam arti memiliki tetapi hanya sebatas mengelola.
Hal ini dapat dilihat dalam peraturan-peraturan perundangan yang diterbitkan. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Tenaga Listrik, Undang-Undang Nomor 21 tentang Otonomi Khsusus Papua, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Seperti misalnya dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, secara eksplisit disebutkan bahwa status hutan itu hanya ada 2(dua) yaitu hutan negara dan hutan hak. Hutan adat disebutkan sebagai hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Padahal dalam kenyataannya hutan adat telah ada sebelum Negara Republik Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945, mungkin disebabkan karena pengakuan terhadap eksistensi atau keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya sendiri masih tidak konsisten. Ketidakkonsistenan tersebut dikarenakan belum ada kriteria yang baku mengenai keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya di suatu wilayah.
Ada beberapa daerah yang telah mengeluarkan Peraturan Daerah sebagai pengakuan dan pengukuhan keberadaan masyarakat adat di wilayahnya. Tetapi masih banyak juga daerah yang belum menerbitkan Peraturan Daerah meskipun ditengarai ada masyarakat di wilayah tersebut. Di sisi lain dalam era reformasi, pemerintah dituntut untuk dapat melakukan pembaruan menyeluruh di segala bidang termasuk hukum. Maka seperti sebuah euforia, bermunculanlah peraturan-peraturan seperti Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Untuk menjembatani permasalahan tersebut, kiranya untuk menetapkan eksistensi hak ulayat harus melihat pada tiga hal yaitu:
  1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu subyek hak ulayat.
  2. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai Lebensraum yang merupakan obyek hak ulayat.
  3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Ketiga hal di atas harus dipenuhi secara simultan untuk dapat menyatakan ada atau tidaknya masyarakat hukum adat di wilayah tertentu.
Menilik namanya, obyek pengaturan UUPA meliputi semua hal yang terkait dengan SDA (tanah, iar, hutan, tambang, dsb.), tetapi kenyataannya UUPA baru mengatur hal-hal yang berhubungan dengan pertanahan saja. Dari 67 pasal UUPA, 53 pasal mengatur tentang tanah. Obyek pengaturan yang belum diselesaikan UUPA ditindaklanjuti berbagai sektor melalui undang-undang sektoral, untuk memenuhi menjawab permasalahan-permasalahan yang belum diatur dalam UUPA.
Kajian yang dilakukan Tim Penyusuun RUU Pengelolaan SDA mencatat lima karakteristik peraturan perundang-undanagn sektoral, sebagai berikut:
  1. Orientasi pada eksploitasi, mengabaikan konservasi dan keberlanjutan fungsi SDA, digunakan sebagai alat pencapaian pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatn dan devisa Negara
  2. Lebih berpihak pada pemodal besar
  3. Ideologi penguasaan dan pemanfaatan SDA terpusat pada negara sehingga bercorak sentralistik
  4. Pengelolaan SDA yang sektoral berdampak terhadap koordinasi antarsektor yang lemah.
  5. Tidak mengatur perlindungan hak asasi manusia (HAM) secar aproporsional.
Secara ringkas, akibat keberadaan berbagai UU sektoral yang inkonsisten dan tumpang tindah itu adalah koordinasi yang lemah di tingkat pusat, antara pusat dan daerah serta antar daerah; kerusakan dan kemunduran kualitas SDA; ketidakadilan berupa terpinggirkannya hak-hak masyarakat yang hidupnya terutama tergantung pada kases terhadap SDA petani, masyarakat adat, dll); serta timbulnya konflik berkenaan dengan SDA.
Ke depan yang diperlukan adalah keberadaan UU yang menjadi platform bersama bagi berbagai UU sektoral. UUPA yang semula diniatkan jadi UU platform, baik karena obyek pengaturan maupun falsafah, orientasi, dn prinsip dasarnya, bernialai strategis untuk berperan dalam harmonisasi undang-undang sektoral.
Titik bertanya pada hal-hal berikut:
  1. Pilihan paradigma adalah penghormatan dan perlindungan HAM, keberlanjutan kapasitas produktif masyarakat dan pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan Good Governance.
  2. Falsafah UU SDA nanti adalah penggunaan bumi, air, ruang udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya guna sebesar-besar kemakmuran rakyat.
  3. Orientasi UU SDA/Agraria mendatang adalah pencapaian keadilan sosial, efisiensi, pelestarian lingkungan dan penggunaan SDA berkelanjutan.
  4. Prinsip-prinsip dasar UUPA perlu diredefinis dan diselaaraskan dengan prinsip-prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan SDA yang termuat dalam TAP IX/2001.
III. UPAYA KE DEPAN TERHADAP PENGAKUAN HAK ULAYAT
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 sesungguhnya dimaksudkan untuk menjadi Undang-Undang platform bagi peraturan Perundang-undangan yang menyangkut Sumber Daya Alam. Karena menilik namanya, obyek pengaturan UUPA meliputi semua hal yang terkait dengan SDA (tanah, air, hutan, tambang, dsb.), tetapi kenyataannya UUPA baru mengatur hal-hal yang berhubungan dengan pertanahan saja. Dari 67 pasal UUPA, 53 pasal mengatur tentang tanah.
Padahal seiring dengan perkembangan jaman dan juga berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, muncul permasalahan-permasalahan yang menuntut diterbitkannya Undang-Undang yang mengatur secara lebih detail mengenai sumber daya alam selain tanah. Maka kemudian banyak muncul Undang-Undang sektoral yang tidak menempatkan UUPA sebagai lex generalis. Karena tidak adanya platform yang sama dan kurangnya koordinasi lintas sektor, akibatnya berbagai peraturan perundangan sektoral tersebut tidak konsisten dan bahkan tumpang tindih satu sama lain dengan berbagai dampaknya dalam implementasinya.
Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut di atas maka diterbitkanlah Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Khusus pada Pasal 4, diamanatkan pengakuan atas hak ulayat sebagai berikut:
“Pasal 4 : Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip:
huruf j: mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.”
Dengan dasar TAP MPR Nomor IX/MPR/2001, seyogyanya disusun suatu Undang-Undang yang mengatur tentang Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang mampu menjadi lex generalis dan platform dari seluruh peraturan perundangan sektoral.
Di dalam Undang-Undang tentang Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang baru itu perlu diatur dan ditegaskan kembali beberapa hal sebagai berikut:
  1. Penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia termasuk di dalamnya pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat.
  2. Mengedepankan falsafah bahwa penggunaan bumi, air, ruang udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
  3. Berorientasi pada pencapaian keadilan sosial, efisiensi, pelestarian lingkungan dan pengelolaan Sumber Daya Alam yang berkelanjutan.
Apabila hal-hal tersebut diatas dapat dituangkan dalam Undang-Undang yang bersifat lex generalis bagi sektor sumber daya alam, diharapkan ke depan terjadi sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundangan bidang Sumber Daya Alam seperti Tanah, Air, Kehutanan, Pertambangan, Listrik, dan lain-lain.
Sehingga amanat Pasal 18B ayat (2) (Amandemen kedua) menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Dan juga pada Pasal 28i ayat (3) (Amandemen Kedua) menyebutkan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”, dapat diemban dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Falsafah UUPA
Sebagai landasan kebijakan pertanahan, falsafah UUPA yang dilandasakan pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 ditujukan untuk tercapainya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat dalam kaitannya dengan perolehan dan pemanfaatan sumber daya alam, khususnya tanah.
Perwujudan keadilan sosial di bidang pertanahan dapat dilihat pada prinsip-prinsip dasar UUPA, yakni prinsip ‘negara menguasai’, prinsip penghormatan terhadp hak atas tanah masyarakat hukum adat, asas fungsi sosial semua hak atas tanah, prinsip landreform, prinsip perencanaan dalam penggunaan tanah dan upaya pelestariannya, dan prinsip nasionalitas.
Berkenaan dengan hak atas tanah masyarakat hukum adat, kearifan sangatlah diperlukan. Sejauh manakah negara mengakui hak-hak tersebut di samping menekankan perluanya dipenuhi kewajiban yang melekat pada hak itu.
Dalam prinsip ‘negara menguasai’, maka dalam hubungan antara negara dan masyarakat, masyarakat tidak dapat disubordinasikan kedududkannya di bawah negara, karena negara justru menerima kuasa dari masyarakat untuk mengatur tentang peruntukan, persediaan dan penggunaan tanah, serta hubungan hukum dan perbuatan hukum yang bersangkutan dengan tanah.
Diperlukan juga penegasan mengenai pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar yang adil untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dan tindak lanjut pengelolaannya.
Ada dua pandangan/sikap pengakuan hak ulayat.
Di satu pihak terdapat kekhawatiran bahwa hak ulayat yang semula sudah tidak ada kemudian dinyatakan hidup lagi. Di pihak lain ada kekhawatiran bahwa dengan semakin meningkatnya kebutuuhan akan tanah, akan semakin mendesak hak ulayat yang keberadaannya dijamin oleh Pasal 3 UUPA.
Pengakuan eksistensi hak ulayat oleh UUPA merupakan hal yang wajar, karena hak ulayat beserta masyarakat hukum adat telah ada sebelum terbentuknya negara RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Pasal 3 UU PA menegaskan pengakuan tersebut dengan menyebutkan “dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
Hak ulayat sebagai istilah teknis yuridis adalah hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang/kekuasaan mengurus dan mengatur tanah seisinya dengan daya laku ke dalam maupun ke luar. 
Oleh : Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, SH, MCL, MPA.

Rabu, 01 Desember 2010

Fitnah Medis Modern?

Nabi Muhammad saw lebih mengkhawatirkan rangkaian fitnah sebelum munculnya fitnah Dajjal yang terjadi di tengah ummat Islam. Nabi sampai menyatakan bahwa barangsiapa dapat menyelamatkan diri dari segenap rangkaian fitnah tersebut berarti ia sangat potensial untuk dapat selamat dari fitnah yang paling dahsyat sepanjang zaman, yaitu fitnah Dajjal. Suatu ketika ihwal Dajjal dibicarakan di hadapan Rasulullah saw. Kemudian beliau bersabda: ”Sungguh fitnah yang terjadi di antara kalian lebih aku takuti dari fitnah Dajjal, dan tiada seseorang yang dapat selamat dari rangkaian fitnah sebelum fitnah Dajjal melainkan akan selamat pula darinya (Dajjal). Dan tiada fitnah yang dibuat sejak adanya dunia ini –baik kecil ataupun besar- kecuali dalam rangka menyongsong fitnah Dajjal.”(HR Ahmad V/389) Sebelum Dajjal muncul untuk menebar fitnah dan kekacauan ke seluruh dunia, maka dunia sudah sangat heboh dengan hadirnya aneka fitnah di segenap lini kehidupan seolah menyambut kedatangan puncak fitnah, yaitu Dajjal. Nabi menjamin   tiada seseorang yang dapat selamat dari rangkaian fitnah sebelum fitnah Dajjal melainkan akan selamat pula darinya (Dajjal). Artinya, barangsiapa sebelum kedatangan Dajjal sudah cukup sensitif dan cukup cerdas untuk membentengi diri dan keluarganya dari berbagai fenomena kehidupan modern yang pada umumnya sudah mengalami kontaminasi nilai, maka sangat besar kemungkinan iapun bakal selamat dari  puncak fitnah, yaitu Dajjal. Dan tentu sebaliknya pun bakal terjadi, yaitu barangsiapa yang terjebak oleh satu apalagi lebih rangkaian fitnah sebelum keluarnya Dajjal, berarti ia telah menyebabkan diri dan keluarganya terperangkap ke dalam puncak fitnah yaitu Dajjal.
Rangkaian fitnah sebelum munculnya Dajjal meliputi segenap aspek kehidupan manusia. Ia mencakup fitnah ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hiburan, informasi, medis, militer, pendidikan, hukum, pertahanan-keamanan.  Potensi seseorang terjebak kepada salah-satu fitnah sebelum Dajjal sangat menentukan seberapa jauh -pada gilirannya- ia bakal selamat atau  malah ikut terjerat ke dalam fitnah Dajjal. Jeratan rangkaian fitnah akan mengincar setiap orang sesuai kecenderungan dirinya. Ada yang terjerat oleh fitnah ideologi, ada yang terjerat oleh fitnah politik, ada yang terjerat oleh fitnah hiburan atau informasi.
Dalam kesempatan ini kami ingin mengangkat soal jeratan fitnah medis modern. Ahmad Thomson menulis dalam kitabnya Sistem Dajjal bahwa aspek medis modern termasuk salah satu pilar yang menopang beroperasinya Sistem Dajjal. Coba perhatikan cuplikan tulisan beliau di bawah ini:
”Selama lima puluh tahun terakhir, sistem rumah sakit kafir termasuk salah satu bagian yang penting dalam proses produsen-konsumen. Sistem ini didirikan untuk menjaga kesehatan masyarakat agar selalu siap bekerja. Padahal justru akibat cara hidup masyarakat yang wajib berpijak pada tata-cara proses produsen-konsumen, maka muncul berbagai penyakit. Sistem kafir, yaitu sistem Dajjal, menciptakan penyakit-penyakitnya sendiri, dengan demikian menciptakan kerja bagi mereka yang bekerja di sistem rumah sakit.
Sistem rumah sakit dijalankan bak sebuah bisnis. Semua orang diupah untuk pekerjaannya. Banyak sekali orang yang menggantungkan kelangsungan hidupnya pada sakitnya orang lain – dan dengan cara hidup yang mau tak mau muncul dan berkembang akibat cara kerja negara produsen-konsumen modern, maka terjaminlah pasokan orang sakit dalam jumlah yang sangat besar, cukup untuk menyibukkan dan melestarikan bisnis sistem rumah sakit, sekaligus menjamin adanya pekerjaan yang langgeng dan menguntungkan bagi begitu banyak bisnis terkait lainnya, yang memasok peralatan dan obat-obatan ke rumah sakit-rumah sakit dan dokter-dokter.”
Jadi, sistem medis modern pada hakikatnya berdiri di atas fondasi faham materialisme. Ia merupakan sebuah bisnis yang beroperasi dengan proses produsen-konsumen. Sistem medis modern sejatinya tidak bermaksud untuk benar-benar menyembuhkan masyarakat dari berbagai penyakit yang mereka derita. Ia mengandalkan obat-obatan kimiawi yang sesungguhnya dibuat dari zat-zat toxic (racun) yang malah menimbulkan berbagai problem baru bila dikonsumsi pasien. Perhatikan lebih lanjut tulisan Ahmad Thomson berikut ini:
”Sebagaimana sistem pabrik dan sistem pendidikan kafir, sistem medis kafir dijalankan bak sebuah bisnis. Sistem medis kafir tak begitu peduli pada penyembuhan dan apa yang bermanfaat atau tidak. Bahkan merupakan sebuah bisnis besar bagi perusahaan-perusahaan farmasi yang memasok obat-obatan dan peralatannya, seraya memelihara beribu-ribu pekerja yang dikaryakan untuk menambal para pasien, agar mereka pun bisa dikaryakan. Kini, kita lebih sering mendengar mahasiswa kedokteran berbicara mengenai gaji-gaji besar yang mereka cita-citakan – apabila telah lulus ujian dan mendapat secarik kertas – dibanding dengan berbicara mengenai cita-cita mereka untuk menyembuhkan banyak manusia, atau berbicara mengenai bagaimana cara mencapai penyembuhan tersebut.”
Padahal jelas Nabi Muhammad bersabda bahwa bagi setiap penyakit ada penawarnya, kecuali penyakit usia lanjut. Dan Nabi melarang untuk berobat dengan zat yang diharamkan Allah.
”Mereka (para sahabat) bertanya, "Ya Rasulullah, apakah kami berobat?" Beliau menjawab, "Ya, wahai hamba-hamba Allah. Sesungguhnya Allah meletakkan penyakit dan diletakkan pula penyembuhannya, kecuali satu penyakit yaitu penyakit ketuaan (pikun)". (HR. Ashabussunnah) Rasulullah bersabda: ”Allah tidak menjadikan penyembuhanmu dengan apa yang diharamkan atas kamu.” (HR. Al-Baihaqi)
Oleh karena itu kita sangat heran melihat bagaimana para dokter medis modern begitu royal menulis resep berupa antibiotik kelas berat bagi para pasiennya. Namun bilamana anak atau keluarganya sendiri yang sakit sang dokter sedapat mungkin menghindari memberikan antibiotik kepada mereka. Sebab sesungguhnya ia sangat mengerti betapa berbahayanya zat-zat yang terkandung di dalam antibiotik tadi. Sehingga Ahmad Thomson selanjutnya menulis:
”Nabi Muhammad pernah menerima kiriman abat-obatan mahal dari Mesir. Beliau mengembalikannya beserta sebuah pesan yang menyatakan bahwa cara hidup beliau adalah obat dan pengobatan yang terbaik. Begitu sempurnanya keseimbangan hidup beliau, sehingga beliau hanya pernah menderita sakit ketika ada yang berusaha meracuni makanan beliau atau berusaha menyihir beliau. Nabi Muhammad saw bersabda bahwa bila hati baik maka seluruh tubuh akan baik, dan bila hati rusak maka rusak pulalah seluruh tubuh.” Di samping itu kita juga tahu bahwa bentuk pengobatan cara Nabi ialah mengkonsumsi zat-zat natural dari berbagai jenis tumbuh-tumbuhan (herbal) seperti habbatus-sauda (jintan hitam) atau aneka madu serta hijamah (berbekam). Sangat kontras dengan medis modern yang mengandalkan obat-obatan kimiawi yang banyak mengandung side-effects yang sangat berpotensi merusak ginjal, lever dan pada akhirnya jantung. Mindset umat manusia sangat diarahkan untuk bergantung kepada sistem medis modern. Sedikit-sedikit pergi ke dokter manakala sakit. Sedikit-sedikit minum obat analgesik begitu pusing atau demam. Pada saat yang bersamaan para pekerja medis modern itu telah di-brain-wash untuk memandang sebelah mata akan Thibbun-Nabawy (sistem pengobatan ala Rasulullah). Para dokter ditanamkan kecurigaan dan kesangsian mereka akan praktek berbekam ala Nabi, misalnya. Kalaulah yang ragu dan sangsi dari kalangan dokter non-muslim kita masih bisa maklumi. Tapi yang jadi masalah disini ialah keraguan yang muncul dari para dokter muslim bahkan sering hadir di pengajian...! Sungguh dahsyat rangkaian fitnah yang merebak sebelum datangnya puncak fitnah, yakni Dajjal.
Ya Allah kami berlindung kepadaMu dari rangkaian fitnah yang merebak sebelum datangnya puncak fitnah, yaitu Dajjal. Ya Allah tunjuki kami jalan-jalan keluar dari setiap fitnah yang datang menggoda hidup kami. Amin ya Rabb.
 Bersumber dari http://sasak.net/

Relevansi Ijtihad?

Pendahuluan

            Segala puji bagi Allah yang telah memberi nikmat akal dan ilmu bagi kita semua untuk berfikir  dan mencari kebenaran.
            Solawat serta salam semoga tetap tercurahkan pada baginda nabi Muhammad SAW. sepanjang masa serta sahabat dan tabiin.
Seiring dengan berjalannya waktu, masalah-masalah yang dihadapi manusia dari hari kehari terus berkembang dan semakin komplek, yang tentunya membutuhkan penyelesaian secara cepat dan akurat, di samping harus di cari penyelesaian  hukumnya. Ambil contoh dalam masalah kedokteran seperti pencangkokan anggota tubuh, penyakit Aids yang belum ditemukan obatnya. Apakah hukumnya melakukan karantina tehadap penderita aids itu sendiri diperbolehkan  sara’ atau tidak?. Karena penyakit ini berbeda dengan penyakit  lain taruhlah misalnya Lepra, dari segi penularan dan cara penanganan.  Padahal penderita aids juga manusia, yang sama dengan yang lain. Mereka  butuh bersosialisasi, bergaul dalam ruang lingkupnya sebagai makluk sosial. Dan masalah-masalah baru akan datang silih berganti, yang belum ditemukan ketika itu. Bahkan mungkin belum tersentuh oleh pikirkan manusia saat itu. Pun ulama’ juga tidak menjelaskan dan menerangkan hukum masalah diatas secara tersurat. Salah satu cara untuk mengetahui berbagai permasalahan hukum diatas  adalah menggunakan metodologi ijtihad, apa pengertiannya, bagaimana penerapannya, dan apakah masih relevan  metode tersebut  diterapkan pada saat ini. Oleh karena itu tulisan ini akan berusaha mengulas pelbagai problematika diatas sekaligus menawarkan solusinya.
Ijtihad dan pengertiannya
Ijtihad secara bahasa adalah daya dan upaya untuk mencari sesuatu . Sedangkan secara istilah adalah daya dan upaya yang dilakukan seseorang untuk  mencari hukum syra’, sehingga menghasilkan hukum[1]. Adapun tentang hukum ijtihad,  para ulama’ sepakat bahwa hal itu diperbolehkan.          
            Para sahabat dan tabi’in serta ulama’ terdahulu, bahkan sampai  sekarang juga melakukan ijtihad untuk mencari ketetapan hukum atas segala permasalahan yang muncul, yang tentunya tidak  dijelaskan dalam al-Qur`an ataupun al-Hadist [2]. Hal itu membuktikan bahwa ijtihad adalah metode yang dilegalkan oleh syara’. Ijtihad  hukumnya fardhu kifayah bagi orang Islam, karena untuk mencapai taraf ini dibutuhkan daya, upaya dan usaha yang tidak ringan. Kalau ijtihad diwajibkan bagi setiap orang Islam maka akan menyebabkan keadaan dunia ini tidak bisa seimbang  dan akan menimbulkan kekacauan serta akan ada anggapan bahwa Islam adalah agama yang sulit dan berat. Coba kita bayangkan, seandainya semua orang sibuk belajar terus menerus sampai punya pengetahuan yang cukup untuk melakukan ijtihad, pasti tidak akan  ada orang yang  sempat bercocok tanam, berdagang, dan tidak ada orang yang duduk dipemerintahan, mungkin waktu untuk bercanda, bermain pun tidak ada, karena inilah ijtihad hukumnya fardu kifayah.[3]
Keharusan ijtihad
            Sejak munculnya Islam, ijtihad telah dilakukan oleh nabi. Hanya saja, ijtihadnya nabi  berbeda dengan ijtihadnya orang lain. Karena apabila beliau melakukan ijtihad dan hasilnya tidak benar beliau langsung mendapat teguran dari allah Swt. Sebagaimana tentang  masalah tawanan perang badar, apakah mereka di bunuh atau dibebaskan dengan syarat pihak kafir Quraisy mengganti dengan uang atau tebusan. Ijtihad juga dilakukan oleh para sahabat ketika timbul permasalahan baru yang hukumnya tidak di jelasakn dalam al-Quran ataupun al-Hadist secara jelas. Begiti pula ketika wilayah Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat yang berakibat bercampurnya  umat Islam (baca: bangsa Arab) dengan bangsa lain baik dari aspek tradisi, kebiasaan dan sebagainya maka para ulama’pun di tuntut untuk berijtihad. Terlebih ulama setelah periode sahabat sering melakukan ijtihad karena permasalahan yang di hadapi semakin kompleks[4].
Apabila kita melihat kehidupan manusia yang terus berkembang dalam segala bidang mulai dari teknologi, kedokteran, ekonomi, pemerintahan, sosial kemasyarakatan dan bidang-bidang yang lain tentu semua itu akan membawa imbas munculnya masalah atau hal-hal baru yang akan di hadapi manusia. Dan tentunya orang Islam di tuntut untuk  mengetahui hukumnya, karena mereka mau tidak mau akan terlibat langsung atau terkena imbasnya. Sebagai misal, dalam bidang pemerintahan adanya sistem demokrasi, pemilu dan dalam bidang kedokteran ada masalah cloning, penentuan garis keturunan dengan sistem DNA, belum lagi masalah ekonomi seperti masalah kartu ATM, BANK dengan sistem riba, asuransi dan lain sebagainya. Padahal pada masa ulama’ dahulu atau dalam literatur turast pemasalahan demikian tidak ada kejelasan hukumnya secara tersurat—melainkan masih tersirat dalam teks. Oleh karena itu untuk memahami dan mencari hukum yang tersirat tersebut  bukanlah hal yang gampang, dan usaha ini bisa dikatakan sebagai ijtihad dalam arti yang luas.
Merupakan tanggung jawab bersama  bagi orang Islam, terutama para pemikir, cendikiawan (ulama’) untuk  memahami, membahas, dan mencari sumber hukum di dalam al-Qura’an dan al-Hadist yang tetap berpegang pada kaidah-kaidah penggalian hukum (istimbat al-Ahkam), sekaligus memperhatikan situasi dan kondisi—kultur masyarakat. Sehingga hukum-hukum  yang dihasilkannya pun  tidak bertentangan dengan kemaslahatan  manusia. Dan usaha semacam ini pun harus tetap berjalan seiring dengan perkembangan zaman.
Ijtihad juga merupakan suatu metode yang bisa menunjukkan, memberitahu dan membuktikan bahwa  Islam  adalah agama yang sempurna, rahmatal lil ‘âlamin dan bisa diterapkan dalam ruang dan waktu dimanapun manusia berada. Karena  setiap masalah yang dihadapi manusia akan selalu bisa dicari penyelesaian serta hukumnya . Disinilah kita bisa melihat betapa urgensinya  ijtihad saat ini .[5]
Ruang lingkup ijtihad
Dari dahulu, mulai Islam ada di muka bumi, ijtihad yang dipraktekkan oleh nabi, sahabat, tabi`in dan ulama’  sudah tidak diragukan lagi memakai sistem atau cara yang sudah ada seperti yang tercantum dalam kitab-kitab usul fiqih. Walaupun pada masa nabi sampai munculnya Imam Syafi’i cara yang di pakai belum temodifikasi dalam sebuah karya tulis. Salah satu dari kaidah dalam ijtihad adalah memperhatikan masalah yang ada, apakah masalah tersebut sudah ada dalam al-Qur`an dan al-Hadis secara pasti  (qath’i) atau tidak. Dalam hal ini masalah-masalah yang diperbolehkan untuk berijtihad dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1.     Masalah yang sudah jelas (qath`i) hukumnya dalam qur`an dan hadis baik wurudnya (mutawatir) atapun dilalahnya.
2.     Masalah yang hukum-hukumnya tidak ada nasnya akan tetapi telah di sepakati oleh seluruh mujtahidin bahwa hal ini bukan wilayah ijtihad. Dan ini hanya sedikit sekali seperti nenek dapat seperenam dari harta warisan, sebagi ashâbul furud atau terhalangnya cucu laki-laki karena adanya anak laki-laki .
3.    Akidah dan  Moral seperti iman pada Allah, iman pada Al-Qur`an, berkata jujur, berbohong.
4.   Masalah yang hukumnya didasarkan pada teks (nash) yang dhanni  baik dilalahnya maupun wurudnya. Dan usaplah kepalamu”, adalah dhanni. Dilalahnya apakah dalam wudhu yang di usap seluruh kepala atau sebagian? apakah bagian mua`alaf harus diberikan bagi yang berhak tanpa melihat kondisi umat Islam apakah kuat atau tidak[6].
5.  Masalah yang tidak dijelaskan atau tidak ada dalam al-Qur`an dan al-Hadist.
Mengetahui hal ini adalah suatu hal yang sangat urgen karena bisa menghindari dari suatu kesalahan dalam melakukan ijtihad. Atau agar para pemikir dalam melakun ijtihad tidak keluar dari frame atau rel ijtihad.
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa Imam Syafi’i telah mengingatkan atau menunjukkan dua perkara yang sangat penting :
1.    Mendahulukan kaidah umum dari pada qiyas yang bersifat juziyah. Karena itulah wajibnya qisos atas pembunuhan dengan senjata yang berat, karena menghawatirkan akan terjadi  banyak pembunuhan, dan penafian  kaidah qisos.
2.     Tidak melakuan qiyas dalam ibadat .
Imam Zarkasi menjelaskan belbagai permasalah yang boleh di ijtihadi atau tidak. Bahwa masalah yang sudah jelas (qath`i) tidak diperkenankan ijtihad, baik secara dilalahnya ataupun wurudnya. Adapun masalah yang ada perbedan pendapat seperti kewajiban zakat harta milik anak kecil, masalah shalat witir, apakah wajib atau tidak. Serta dari belbagai permasalah yang tidak ada nasnya atau  ada dalilnya yang masih samar maka boleh ijtihad[7].
Dr. Wahbah Zuhaili dalam karya agungnya “Ushul Fiqh al-Islami” menjelaskan permasalahan yang tidak boleh di ijtihadi adalah masalah yang hukumnya sudah diketahui secara pasti (dharuri) atau yang dilalah maupun wurudnya sudah pasti. Seperti shalat, zakat, puasa, mencuri, zina dan sbagainya. Adapun masalah yang boleh diijtihadi adalah kebalikannya.[8]
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup ijtihad hanya diperkenankan  pada nomer empat dan lima. Dalam hal ini tidak ada bedanya apakah ijtihad diterapkan pada  masa sekarang atau masa yang telah lampau, ruang lingkup ijtihad tidak akan berubah. Karena kaidah ijtihad ataupun aturan meteodologi dalam pengambilan  hukum akan tetap sesuai dengan kondisi, ruang dan waktu dimanapun manusia berada.  Karena aqidah adalah iman terhadap allah, rasul, malaikat dan masalah tauhid. Sedangkan moral adalah hal yang sudah di ketahui tanpa perlu pemikiran yang mendalam  karena setiap  manusia dengan akal dan naql tahu bahwa moral yang baik itu terpuji sedangkan moral yang buruk itu tercela.

Bentuk ijtihad yang tepat
 Saat Baghdad runtuh ditangan tentara mongol—Holago— merupakaan saat-saat  di mana Islam mengalami kemunduran dan kemerosotan dalam berbagai bidang, mulai dari keilmuan sampai masalah persatuan dan kesatuan.Yang menyedihkan adalah kemerosotan dan kemunduran Islam dalam bidang  ilmu pengetahuan terutama ilmu fiqih. Dimana pada saat itu fiqih dalam keaadan jumud sehingga berimbas menjamurnya taklid di kalangan umat Islam. Mereka lebih mendahulukan kepentingan dunia dari pada kepentingan akhirat. Ulama`sibuk dalam mengarang kitab tapi hanya meringkas dan mensyarahi kitab-kitab pendahulunya (masa syarah dan hawasyiyah), Ulama yang berijtihad jumlahnya sedikit sekai, bisa di hitung dengan jari. Tidak seperti abd-abad sebelum hancurnya kota Baghdad, walaupun ada istilah taqlid tapi kadar dan jumlahnya sedikit[9].
Hal itu terus berjalan sampai sekarang, di mana saat ini, istilah atau jargon taklid adalah suatu hal yang wajar dan populer. Fikih dalam keaadaan jumud dan statis, para pengikut madzhab sibuk menyalahkan pendapat madzhab lain, mengunggulkan pendapat madzhabnya (ta’asub al-Madzhab) dari pada belajar ilmu yang berguna  dan berfaedah untuk menggali hukum. Apalagi didukung oleh ucapan beberapa ulama` yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup, yang membawa pengaruh luar biasa terhadap kemandekan dan kejumudan ilmu fiqih. Sampai saat munculnya para ulama’ pembaharu Islam yang berusaha untuk memajukan peradaban Islam dalam berbagai bidang terutama fikih, dengan mengusung ide-ide kebebasan berfikir  [10].Sampai munculnya ide dari ulama` yang berkutat dengan fiqih untuk melaksanakan  ijtihad kolektif guna  menentukan permasalahan hukum yang ada [11].
Menurut penulis, ide ini merupakan ide yang cocok dan sesuai dengan keadaan  saat ini. Dimana orang yang mencapai tingkatan ijtihad pada saat ini jumlahnya sangat sedikit sekali bila di bandingkan dengan prosentase jumlah orang Islam. Di samping itu dalam ijtihad kolektif (ijtihad al-Jama’i) ada keunggulan yang tidak dimiliki dalam ijtihad individu (ijtihad fardhiyah). Hasil yang di capai dalam ijtihad kolektif akan lebih baik dan terhindar dari kesalahan, karena para pemikir atau orang yang membahas dalam ijtihad tersebut adalah orang  yang berkompeten dalam bidangnya. Misalnya, membahas masalah ekonom,i disitu kumpul  ahli ekonom, ahli fikih, tafsir, hadist, bahasa, sejarah dan lain sebagainya sesuai dengan masalah yang di bahas. Sebenarnya ini bukan-lah hal yang baru pada periode sahabat, mereka juga melakukan sistem ijtihad kolektif, seperti yang dilakukan sahabat Abu Bakar, Umar bin Khatab dalam mencari hukum dalam suatu permasalahan. Abu bakar r.a. dalam menggali hukum, pertama-tama yang dilakukan adalah melihat dalam al-Qur`an lalu al-Hadist kalau tidak ada beliau mengumpulkan para sahabat. Hal serupa juga dilakukan sahabat Umar, Usman dan Ali. Jadi ijtihad kolektif bukan merupakan hal yang baru walaupun mungkin bentuk dan cara yang di pakai saat ini berbeda dengan jaman para sahabat [12].
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa ijtihad dilihat dari segi pelakunya terbagi menjadi dua;  yaitu  Ijtihad fardiah  (individu) dan Ijtihad jama’i (kolektif). Ijtihad fardiah adalah ijtihad yang dilakukan oleh seorang fakih dalam menggali  hukum  masalah tertentu dari Qur`an dan Hadis. Adapun ijtihad jamai adalah ijtihad yang dilakukan oleh beberapa orang yang berkompeten dalam bidangnya dalam mencari hukum suatu masalah berdasarkan Qur`an dan Hadis. Ijtihad kolektif ini sudah diterapkan di berbagai penjuru dunia. Di indonesia NU telah menerapkan ijtihad ini dalam bentuk bahsu masail, di Mesir lembaga yang menerapakan ijtihad model ini adalah al-Azhar  yang di tangani oleh lembaga ”Majma’ul buhus al-islamiah, “Majlis a`la” yang merupakan gabungan negara Mesir dengan negara Suryah, di Arab saudi dibentuk “Majallah al- Syar‘iyah” yang mengikuti madzhab Imam Hambali, di Kuwait di bentuk badan “Wizarutul al au`qof wa al-Syuûn al- Islmiyah” dan lain sebagainya[13] .
Faktor –faktor kontemporer  yang bisa merubah ijtihad turost
Dalam hukum Islam terdapat hukum  yang tetap, abadi sepanjang masa, tidak terpengaruh ruang dan waktu di mana manusia berada. Begitu pula tidak terpengaruh keadaan sekitar kecuali dalam keadaan yang mendesak, di samping terdapat hukum yang bisa berubah  yang bisa disesuaikan dengan keadaa, ruang dan waktu dimana manusia berada. Kenapa terdapat hukum yang demikian ? tidak lain adalah untuk menunjukkan  bahwa Islam adalah agama yang  paling akhir, agama yang rahmatal lil a`lâmin bisa diterapkan pada keadaan  dan situasi apapun, dimana saja manusia berada, entah hidup di negara manapun. Disamping itu Islam adalah agama yang mudah, tidak berat bagi manusia.
            Hal-hal yang bisa merubah atau mempengaruhi  hukum  Islam adalah:
1.    Kemerosotan moral, seperti  penambahan hukum cambuk bagi peminum, pada masa Umar menjadi delapan puluh disaat zaman  nabi dan Abu bakar hukuman bagi peminum di cambuk empat puluh kali.
2.    Perkembangan zaman dan aturan-aturan modern, seperti sahnya jual beli tanah yang batas-batasnya telah tertulis dalam akte tanah padahal zaman dahulu untuk mengesahkan jual beli tanah harus menyebutkan batas-batasnya. Karena hal itu lebih mudah dan praktis .
3.    Perubahan adat atau tradisi dan tempat, seperti diperbolehkan mengambil upah atau gaji  sebagai hasil jerih payah dalam mengajar al-Qur`an, menjadi imam, menjadi khatib. Dimana pada zaman dahulu biaya hidup orang yang profesinya seperti diatas adalah tanggung jawab negara, tapi sekarang keaadan telah berubah dimana negara tidak mau lagi membiayai [14].
4.    Perubahan kemaslahatan, seperti hukum bolehnya membukukan al-Qur`an yang terjadi pada masa  sahabat Abu bakar, pembukuan hadist pada masa Umar bin Abdul Aziz.
5.    Perubahan keadaan  atau kondisi masyarakat, seperti tindakan sahabat Umar dalam penundaan penarikan zakat hewan pada tahun paceklik, tidak diberlakukannya hukum potong tangan bagi pencuri pada musim paceklik. Hal ini (tidak ada potong tangan ) alasan yang dipakai Umar tidaklah karena berdasarkan kemaslahatan pada saat itu tetapi disesuaikan dengan kaidah fiqih (الحدود تدرأ با الشبهة).
6.    Karena ada dharurat seperti di ma’funyanya tahi burung  dara di mekah karena sulit dihindari .
Perubahan diatas hanya terjadi pada hukum yang sifatnya ijtihadi (hukumyang dihasilkan dengan metode qiyas, istihsan, masoâleh al-Mursalah, Saddu al- dzarâ i`) yang berhubungan dengan muamalat atau urusan dunia, kebutuhan perdagangan, ekonomi, kenegaraan. Maksud dari semua perubahan di atas  adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan. Adapun  hukum yang sifatnya ta’abudi ukuran-ukuran sara’, moral dan ushûl al-Syari’ah yang abadi maka tidak akan terjadi perubahan, bagaimanapun bentuk situasi, kondisi, ruang dan waktu, hukum akan tetap dijalankan kecuali dalam keadaaan yang mendesak atau dharurat karena sebagaimana dalam kaidah ushul fikh “dharûratu tubihû al-Mahdhurât”  (kondisi yang mendesak melegalkan perkara yang asal hukumnya haram[15]).
Penyimpangan Ijtihad
Tidak diragukan lagi bahwa pendapat ada dua macam; benar atau salah atau dengan kata lain sesuai dengan syari’at atau tidak. Dalam al-Qura`n dan al-Hadist banyak sekali dalil-dalil yang menyinggung tentang penyimpangan pemikiran dalam memahami agama—tidak sesuai dengan Syari’at. Hal ini dikarenakan masalah yang ada di dunia tidak semua dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadist secara terperinci, sebagaimana memahaminya hanya bisa dilakukan melalui pendekatan bahasa; yaitu memahami gaya bahasanya sekaligus menyingkap maksud dari satu lafadz yang mempunyai beberapa arti. Tetapi, begitu pula sebaliknya, ada juga beberapa masalah yang dijelaskan oleh al-Qur’an secara terperinci, seperti halnya masalah warisan, hukum jinayat dan lain sebagainya[16].
Secara garis besar pendapat atau ijtihad yang benar atau salah dapat di ketahui dengan memahami batasan-batasannya, adapun batasan pendapat yang benar adalah semua pendapat yang dihasilkan dengan memakai system atau metedologi yang dibenarkan oleh syariat. Dalil yang membuktikan bahwa semua pendapat itu tidak tercela adalah hadist nabi yang masyhur pada peristiwa diutusnya Mua’d ke Yaman yang artinya:
 â€œ Wahai Mua’d engkau memutuskan suatu masalah dengan apa? Mua’d menjawab: dengan kitab allah, nabi berkata;  apabila tidak kamu temukan? Ia menjawab: dengan sunnah rasulullah, nabi berkata;  apabila tidak ditemukan ? Ia menjawab; saya akan berijtihad, lalu nabi berkata; segala puji bagi allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan rasulullah dengan  cara yang di ridlai allah dan rasulnya”.
Imam Sya’rani dalam kitab “Mizan al- Kubro” menjelaskan bahwa pendapat yang benar adalah pendapat yang sesuai dengan ketetapan syari’ah (Nusûs al-Syar’îyyah)[17].
Pendapat yang salah adalah pendapat yang sudah ada nas-nya dalam al-Qura`n dan al-Hadist secara jelas (shârih) atau tidak memakai sistem dan garis-garis yang telah ditentukan oleh para ulama’[18]. Imam ibnu Qayyim membagi pendapat menjadi tiga: pertama, pendapat yang benar, kedua, pendapat yang sudah jelas salahnya dan ketiga, pendapat yang masih samar. Pendapat yang benar di gunakan dalam berfatwa dan beramal kebaikan, untuk pendapat yang salah ulama melarang memakainya atau menfatwakannya untuk memutuskan suatu hukum, adapun pendapat yang ketiga hanya boleh di pakai dalam keadaan mendesak saja.
Macam-macam pendapat atau ijtihad yang salah:
1.    Pendapat yang tidak sesuai dengan ketetapan syari’at. Termasuk hal ini adalah pendapat yang  tidak memakai nas-nas syari’at dengan dalih kemaslahatan atau maqâsid al-syâri’ah seperti tidak adanya hukum qisos dalam masalah pembunuhan dengan sengaja. Karena qisos menurut pendapat ini tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan HAM. Seperti, hukum potong tangan dalam masalah pencurian dengan dalih maslahat. Juga pendapat atau ijtihad dengan hanya memahami  kitab dan sunah di lihat dari dhahirnya saja tanpa melihat nilai-nilai yang terkandung dalam teks, termasuk pendapat yang sesat. Karena hal ini kan mengakibatkan Islam menjadi statis dan jumud sehingga tidak bisa diterapkan—syari’at— pada segala kondisi, ruang dan waktu [19]
2.    Pendapat dalam  memahami teks-teks agama (nusûs al-Syar’iyyah) dan penggalian hukum (istimbât al-Ahkâm) hanya  berdasarkan pada  perkiraan atau dugaan semata.
3.    Pendapat yang mengosongkan allah dari sifat-sifatnya, nama-namanya, dan tindakannya dengan analogi-analogi yang salah sesuai dengan analogi yang ditetapkan oleh ahli bida`h dan  orang sesat.
4.    Pendapat yang telah dikeluarkan oleh ahli bida`h dan merubah sunah-sunah nabi.
Empat pendapat ini sudah disepakati oleh ulama’zaman dahulu dan sekarang. Menurut Abu A’mr bin Abdul Rahman yang di nukil dari sebagian besar ulama’, pendapat yang salah dalam urutan kelima adalah pendapat dalam syari’at Islam dengan ” istihsan” dan dugaan, sibuk menghafal hal-hal yang sulit dan hal-hal  yang salah serta menganalogikan satu furu’ dengan yang lain tidak mengembalikannya pada al-Qura`n dan al-Hadist[20].
Ijtihad dan Batasan-batasannya
Ijtihad sebagai mana diterangkan di atas hukumnya adalah fardu kifayah. Perkembangan yang terjadi saat ini dan yang akan datang akan memunculkan masalah-masalah baru, yang tentunya akan butuh penyelesain hukum yang berpegang pada syari’at . Selama kita memahami bahwa sareat bisa diterapkan pada kondisi apapun dan pada ruang dan waktu dimanapun manusia  berada. Ijtihad harus tetap terus dilakukan. Untuk itu perlu ada batasan-batasan ijtihad agar tidak dijadikan sebagai salah satu cara untuk merusak Islam dan juga agar orang-orang yang tidak berkompeten  terutama yang bermoral rendah  tidak semena-mena dalam berijtihad.
Batasan-batasan ijtihad kontemporer:
1.    Harus melihat masalah yang di ijtihadi apakah termasuk ruang lingkup ijtihad apa tidak. sehingga tidak melakukan ijtihad secara serampangan pada setiap masalah, entah itu sudah dijelaskan ole qura`n dan hadis secara pasti atau tidak.
2.    Tidak memakai cara orang-orang yang suka mempermainkan agama atau ahli bida’h; yaitu orang –orang yang memindah nas yang sudah jelas kearah  nas yang tidak  jelas, yang bisa diijtihadi. karena hal ini apabila diterapkan maka neraca atau jembatan untuk menentukan salah dan benar tidak bisa dipertanggungjawabkan.
3.    Wajib melihat tingkatan dalam hukum-hukum sarea’t. Dalil yang sifatnya “qhat’i tetap qhat’i’”  tidak perlu ada perubahan ke dhanni ataupun sebaiknya .
4.    Hendaknya tidak terpengaruh dengan keadaan yang ada. karena sarea’t  allah diturunkan ke muka bumi agar menyesuaikan dan ikut keadaan atau tradisi  tapi justru keadaanlah yang harus tunduk dan ikut sarea’t allah.
5.    Hendaknya tidak  selalu berusaha menentang hal hal yang baru walaupun bermanfaat dan tidak mengindahkan hal –hal yang asing walaupun baik tetapi yang harus diperhatikan adalah  membedakan mana hal yang baik yang harus kita ambil, mana hal yang buruk yang haruskita buang. Dan mana yang wajib ditentang dan mana pula yang tidak wajib serta membedakan mana hal yang bisa menerima perkembangan dan tidak .
6.    Harus memahami bahwa mujtahid adalah manusia, yang bisa salah .
Disamping itu harus memperhatikan dua perkara yang tidak kalah pentingnya dengan hal diatas yaitu:
1.    Orang yang berijtihad harus memenuhi syarat yang telah disebutkan dalam kitab-kitab Usul fikih .
2.    Orang yang ijtihad harus adil, berprilaku dan bermoral baik[21].
Ijtihad saat ini tidak hanya memunculkan pendapat-pendapat yang baru sebagai jawaban atas masalah-masalah yang muncul, tetapi juga melihat pada dalil –dalil qura`n dan hadis tanpa terkekang oleh suatu madhab tertentu[22]. Dan penulis kira dalam ijtihad seseorang juga harus melihat kapasitas dirinya ditingkatan atau level mana mana dirinya?. Apakah termasuk mujtahid mutlak atau mujtahid fatwa atau bahkan mungkin termasuk mujtahid tarjih. karena dengan mengetahui kapasitas diri, seseorang tidak akan salah jalan atau tersesat dalam melakukan sesuatu dan mengarungi hidup.
Tertutupnya Pintu Ijtihad
            Pada abad  ke 4 H negara Islam tepecah belah, persatuan dan kesatuan negara Islam dalam keadaan yang menghawatirkan, di tambah dengan terputusnya hubungan politik antara negara Islam. Sebagai imbasnya, kebebasan berfikir surut, mandegnya perkembangan ilmu pengetahuan, merebaknya fanatisme madzhab yang berlebihan, saling bertikai antara sesama ulama, dan lebih parahnya lagi banyak para ulama yang lebih mementingkan urusan materiil belaka dari pada urusan umat serta daya kreativiats dan inovasi ulama’ tumpul, yang hanya bisa meringkas dan mensyarahi kitab-kitab sebelumnya.
Karena lemahnya benteng agama, sebagian ulama merasa khawatir akan rusaknya kekokohan bangunan fiqih yang telah dibangun oleh ulama’ sebelumya, sehingga mereka memunculkan ide keharusan bermadhab dan menfatwakan tertutupnya pintu ijtihad. Hal ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran para ulama atas orang-orang yang tidak berkompeten dalam bidang ijtihad akan melakukan ijtihad. Menurut Muhammad Sai’d al-Bani  alasan ini  karena ada  unsur politik yang terjadi saat itu, apabali alasan ini telah hilang maka secara langsung akan kembali ke keadaan semula  yaitu terbukanya pintu ijtihad karena tidak ada dalil yang mendukung atas ide tertutupnya pintu ijtihad dan itu hanyalah ide kosong karena tidak didasarkan pada dalil syara’.[23]
Pada zaman dahulu para ahli fikih menggai hukum dari qura`n dan hadis dan meninggalkan bagi manusia setelahnya sesuatu yang sangat berharga yaitu ilmu turast, yang tidak dimiliki oleh agama sebelum Islam maupun sesudahnya, dan  usaha untuk menggali  ilmu  dari qura`n dan hadis akan senantiasa berlangsung terus tanpa henti. Dari sinilah perlu di pahami bahwa perjalanan fikih islami tidak hanya terbatas  pada abad-abad tertentu. Diantara ulama’ yang memunculkan ide tertutupnya pintu ijtihad adalah Imam Rofi’i beliau berkata;  manusia seakan -akan sepakat bahwa saat ini tidak ada mujtahid. Apakah pintu ijtihad benar –benar telah tertutup ?. Ini adalah sesuatu yang masih menjadi perdebatan dan memunculkan beberapa pendapat. Tetapi yang rojih  atau yang unggul[24] adalah pendapat Ibnu Muflih, Ibnu Ham, dan Ibnu ‘Uqail dari hanabilah dan Qodhi Abdul Wahab dari malikiah, ini diperkuat oleh sejarah, ternyata pada abad –abad setelah nya muncul ulama yang berkapasitas untuk melakukan ijtihad seperti; Ibnu Daqiq al I’d, Imam Suyuti, Ibnu Taimiyah, Imam Syaukani.[25]
DR.Wahbah Zuhaili juga termasuk orang yang mendukung pendapat pintu  ijtihad tidak tertutup beliau mengatakan: “sesungguhnya pintu ijtihad akan selalu terbuka bagi setiap orang yang mempunyai kapasitas, sehingga tidak menghalangi  kebebasan  berfikir, berpendapat dan menggunakan apa yang dimiliki manusia. Tidak boleh dikatakana bahwa pintu ijtihad telah tertutup sehingga  membutuhkan  kunci untuk membukanya, karena pendapat  tertutupnya pintu ijtihad tidak bisa di terima dari asal mulanya apalagi dari ucapan ulama abad ke empat hijriyah.
Mungkinnya Ijtihad
Ijtihad merupakan bukti bahwa tasyri’ Islam masih terus berjalan seiring dengan perkembangan zaman. Islam dan fikih tidak akan kekal dan berkembang selama ijtihad tidak hidup, mandek, statis. Ijtihad harus tetap ada dan dilegalkan sebagai akibat dari perkembangan zaman dan berkembangnya Islam di berbagai penjuru dunia. Apalagi pada masa ini, dimana perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi begitu pesat, masalah kenegaraan, perdagangan yang bentuk dan caranya yang baru tentunya untuk mengetahui hukum masalah diatas memakai ijtihad. Hendaknya kita harus berani melakukan ijtihad tidak perlu merasa takut dan bangkitkan semangat dalam mempelajari agama, terutama yang bekaitan dengan ijtihad dan mengadakan diskusi untuk membahas masalah-masalah yang muncul .
Bersikap malas, tidak mau gerak, menerima apa adanya dan rela terhadap apa yang telah di capai fikih klasik, yang  dalam keadaan jumud, statis dan terlambat dalam menanggapi dan kurang respek terhadap perkembangan, baik teknologi maupun keilmuan merupakan sikap yang tidak di sukai Allah dan rasulnya serta tidak akan di terima oleh setiap orang Islam yang punya ghirah tinggi terhadap agama .
Ijtihad saat ini masih mungkin dilakukan dan tidak akan sulit selama kita mengubur dalam-dalam anggapan dan mimpi-mimpi bahwa ijtihad itu adalah suatu hal yang mustahil. Kita hilangkan penyakit, kotoran yang ada  di hati dan pikiran kita yang telah terkontaminasi oleh kemunduran dan kemalasan yang diwariskan oleh orang –orang zaman dahulu dan  punya dugaan  salah bahwa kita tidak mungkin mencapai tingkat mujtahid, seakaan-akan itu adalah hal yang mustahil.
Mencapai tingkat ijtihad pada saat ini  tidaklah sulit karena telah terbukukannya semua ilmu pengetahuan apalagi yang berhubungan dengan ijtihad dan banyaknya karangan-karangan dalam bidang usul fikih. Hanya saja bahwa ijtihad mutlak yang bisa membuat metode dan kaidah baru untuk istinbat al-Ahkam (penggalian hukum)t idak ada saat ini, adalah hal yang tidak di ragukan lagi.
Imam ibnu A’bdi al-Salam  dalam kitab syarah “mukhtasor ibnu Haji” berkata: tingkat ijtihad bisa di capai, ijtihad merupakan syarat dalam berfatwa dan memutuskan hukum. Ijtihad akan terus ada sampai pada zaman dimana ilmu akan hilang seperti sabda nabi Muhammad SAW. dan saat ini kita belum sampai pada zaman itu,  apabila tidak demikian maka umat islam akan sama –sama salah  dan ini tidaklah benar .
Imam Suyuti dalam menaggapi ucapan tersebut berkata; “lihatlah bagaimana beliau menjelaskan bahwa tingkat ijtihad tidakaklah sulit dan masih ada pada zamannya dan umat akan tersesat apabila ijtihad tidak ada dan itu adalah hal yang mustahil[26]”.
Penutup
Dari paparan diatas kita bisa tahu  bahwa betapa pentingnya ijtihad pada aat ini, karena  ijtihad merupakan satu-satunya cara untuk mengetaui hukum-hukum Islam yang tidak ada kejelasaanya dalam al-Kitab, baik saat ini maupun bagi masa yang akan datang. kita bisa tahu bahwa Islam adalah agama yang akan selalu menerima hal-hal yang baru dan tidak akan selalu mencela, membuang apalagi mengabaikan hal-hal yang sifatnya membangun dan memberi manfaat bagi manusia, tentunya selama tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah umum dalam Islam. Dan kita bisa tahu bahwa Islam adalah agama yang akan selalu bisa diterapkan pada setiap kondisi, ruang dan waktu dimanapun manusia berada .
Cukup sekian saja dari penulis, apabila banyak kata-kata yang salah mohon maaf, kritik dan saran dari pembaca  selalu kami harapkan.


------oo0oo------
                       





[1] Al subki, Syarah Jam’u al-Jawâmi’, juz 2 hal. 379
[2] Mannâ al-Qattân, Târîh-hhhhhhhkl al-tasyrî’ al-Islamî, Maktabah al-Ma’arif li al-Nasyri wa al-Tauzî’, Riyadh, cet. III, 2002, hal. 110
[3] Dr.Yusuf Qardhawi,  Madkhal li Dirasatil Syari’ah al-Islamiyyah, Maktabah Wahbah, cet.5 hal. 278. Lihat pula, Muhammad Sa’id al-Bani, Umdatu al-Tahkik fi  al-Taklid  wa al- Talfik, hal. 60
[4] Mannâ’ al-Qattân, Târihk al-Tasyrî’ al-Islami, op. cit.  hal. 124
[5] DR.Yusuf Qardlawi, Syari’atu al-Islam Shâlihun li al-Tatbiq fi Kulli Zaman wa Makan, hal. 79
[6] Muhammad Sa’id al-Bani, Umdatu al-Tahkik fi al-Taklid wa al-Talfik, op. cit. hal. 49
[7]  DR.Ali Juma`h, ‘Âliyatu al-ljtihad,  hal. 28
[8] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh, juz.II, hal. 340

[9] Mannâ’u al-Qattân, Târikh Tasri’  al –Islami, lok. Cit. hal. 124. Lihat juga, Muhammad Hudlari bik, Tarihk Tasyrik al-Islami, hal. 265
[10]  Seperti Imam Abduh, Rasyid Ridha, Yusuf Qardhawi, Ibid, hal. 265
[11] Ibid, hal. 265
[12] Mannau’l qotton  .tarihk tasrik islami, lok. Cit.  hal. 110
[13] Mannâ al-Qattân, Târîh-hhhhhhhkl al-tasyrî’ al-islamî, Maktabah al-Ma’arif li al-Nasyri wa al-Tauzî’, Riyadh, cet. III, 2002 h.405
[14] Adat (tradisi) secara bahasa adalah hal-hal yang biasa di lakukan oleh suatu komunitas. Sedangkan secara istilah adalah sesutu yang dibiasakan dan dijalankan manusia. Dalam hal ini adat bisa di petakan menjadi dua; yaitu “ adat yang baik” dan “adat yang buruk”.
Hal yang perlu diperhatikan dalam melihat suatu masalah apakah termasuk adat atau tidak  memerlukan ketelitian dan kejelian terutama melihat suatu ketetapan syari’at. Karena penulis melihat orang-orang sekarang mudah mengatakan nas atau hukum yang telah dicetuskan ulama’ itu berdasarkan adat suatu bangsa tertentu padahal kalau penulis lihat hal itu masih perlu di pertanyakan kebenarannya seperti masalah khitan bagi perempuan dan cadar bagi perempuan.
[15] wahbah zuhaili,usul fiqih al-islami, darul fikri ,cet.14 2006 juz dua hal 398.Yusuf Qordhowi madhkol lidirosatil sariah al-ilamiah  hal 220.al u’rfu indal usuliyin.hal.89
[16] Muhammad sa’id albani,umdatul tahkik fil  taklid wal talfik, hal :30
[17] ibid
[18] ibid
[19] DR.Yusuf qor dawi, al siyasah al sariyah, hal:228
[20] DR.Yusuf Qardlawi, a-Siyâsah al-Sar’iyyah, h. 60
[21] DR.Yusuf Qardlawi, adhol lidirosatil sariah al islamiah hal :278-290
[22] DR. Wahbah zuhaili, usul fiqih al islami juz 2 hal 370
[23] DR. Wahbah zuhaili, usul fiqih al islami juz 2 hal 370
[24] Pendapat yang rojih adalah pndapat yang menyatakan bahwa pintu ijtihad tidak tertutup.
[25] DR.Ali juma`h, aa`liyatul ijtihad hal:94
[26] DR. Wahbah zuhaili, usul fiqih al islami, juz 2 hal:372
Serta sumber yang lainnya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...