Jumat, 04 Februari 2011

MAKALAH TRANSAKSI BENDA SELAIN TANAH (HUKUM PERUTANGAN) DALAM HUKUM ADAT


TRANSAKSI BENDA SELAIN TANAH
(HUKUM PERUTANGAN)

BAB 1
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam kehidupan kita sehari-hari,  hal-hal yang berkaitan dengan transaksi tentulah bukan  sesuatu yang asing lagi.Karna diakui atau pun tidak, pada hakekatnya semua manusia pasti pernah melakukanya,baik transaksi yang berupa benda tetap (tanah dan air) maupun benda-benda bergerak (tanaman, ternak,dan tumbuh-tumbuhan). Adapun mengenai tata cara transaksi itu sendiri masing-masing masyarakat mempunyai ciri-ciri khas tersendiri, dan biasanya semuanya bergantung pada adat masing-masing suatu daerah tersebut.
Berawal dari perihal tersebut dan juga untuk memenuhi tugas dari Bapak Dosen, maka pada kesempatan kali ini pemakalah akan berusaha mencoba menjelaskan tentang transaki-transaksi benda lepas atau benda selain tanah atau biasa disebut dengan hukum petutangan. Karena mengingat keterbatasan pemakalah dalam penguasaan materi, maka kami sangat berharap ktitikan dan saran yang bersifat membangun agar nantinya kami dapat membenahi kekurangan-kekurangan pada makalah kami.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah pengertian hukum perutangan?
2.      Bagaimanakah bentuk  transaksi hukum perutangan dalam tinjauan hukum adat?

BAB II
PEMBAHASAN
A.       PENGERTIAN HUKUM PERUTANGAN
Hukum perutangan  menurut hukum adat adalah keseluruhan hukum yang menguasai hak-hak atas benda-benda selain tanah dan perpindahan hak-hak itu serta hukum mengenai jasa-jasa. Hak-hak atas barang itu juga disebut hak milik; tetapi ia senantiasa berupa hak milik bebas, artinya hak perorangan atas benda-benda selain tanah itu tidak dibatasi oleh hak ulayat, hak pertuanan dan hak masyarakat.[1]
Dalam tinjauan hukum adat bentuk-bentuk transaksi yang berkaitan dengan benda-benda bergerak (tumbuh-tumbuhan ternak dan benda-benda lain), atau benda-benda  selain tanah ini mempunyai kriteria tersendiri.
Berpindahnya hak atas barang merupakan pristiwa hukum yang pada akhirnya akan menimbulkan pemindahan hak dan kewajiban yang kadang bersifat tetap dan kadang pula bersifat sementara.Penyerahan atau pemidahan benda tersebut yang bersifat tetap pada hakikatnya sering disebut sebagai transaksi jual beli.sedangan panyerahan yang hanya mempunyai sifat sementara biasa disebut dengan sewa-menyewa atau gadai, akan tetapi tidak semua benda tersebut dapat disewakan atau digadaikan.Penyarehan benda yang bersifat tetap menimbulkan hak milik atas barang tersebut. Dan ini menunjukan pemilik benda tersebut mempunyai hak penguasaan mutlak dalam pemanfaatannya.Sedangkan penyerahan yang bersifat sementara akan menimbulkan hak penguasaan (pemanfaatan) atas benda tersebut dan bersifat sementara[2].

B.        BENTUK-BENTUK TRANSAKSI  HUKUM  PERUTANGAN
Hak yang pertama-tama  dilakukan atas benda ini adalah hak milik bumi putra; suatu hak dari masyarakatselaku kesatuan susunan  rakyat yang terletak diatas benda-benda tersebut sebagai hak yang lebih tinggi. Contoh :
a.       Dikalangan sementara suku dayak seperti Maayan Siung terdapat larangan untuk mewariskan barang-barang pusaka kepada orang-orang diluar wilayah suku; dan juga untuk membawanya keluar.
b.      Tentang republik desa Tnganan-Pagrisinga (Bali) perlu dikemukakan bahwa semua milik orang-orang desa : ternaknya, perkakas rumahnya dibawakan oleh hak desa, sedangkan dibeberapa desa lainya desa daapat mengusai ternak dan barang-barang untuk keperluan masyarakat tanpa penggantian kerugian.[3] 
1.      Transaksi Atas Rumah danTanaman
a)      Numpang atau magersari di Jawa atau lindung di Priangan
 Apabila seorang pemilik tanah yang bertempat tinggal di tanah itu (samadengan mempunyai rumah dari tanah itu) memberi izin kepada orang lain untuk membuat rumah yang kemudian ditempati olehnya di atas tanah itu juga maka, terjadi transaksi yang disebut numpang.[4] Dapat diketahui, pada azasnya setiap warga dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu, dapat mempunyai hak milik atas rumah dan tanaman. Akan tetapi kadang pula ditemukan mengenai hak rumah dan tanaman biasanya terpisah dari hak atas tanah tempat benda-benda itu berada semisal :
·         Seseorang dapat menjadi pemilik pohon dan rumah diatas pekarangan orang lain, dengan izin pemilik tanah
·         Para warga harta besama yang menanam pohon-pohon diatas tanah kelompoknya (banyak terjadi di Ambon)  menjadi pemilik pohon tersebut.[5]
Di daerah Padang ratu, Lampung tengah, dimana kebanyakan masyarakatnya memiliki rumah sekaligus tanahnya,dan apabila ada rumah yang dibangun diatas tanah orang lain, maka pemilik rumah mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu, yakni meliputi :

1)      Pemilik rumah tidak diperbolehkan merusak keadaan tanah;
2)      Jika akan menjual  rumah, maka rumah tersebut harus lebih dulu ditawarkan pada pemilik tanah;
3)      Jika rumah hendak diwariskan, maka pemilik tanah harus member tahu pada pemilik tanah.
Namun, pada pemisahan  antara hak atas tanaman dan rumah disatu pihak dengan hak atas tanah mempunyai ciri-ciri antara lain:
1)      Transaksi mengenai pekarangan, biasanya meliputi rumah dan tanamanya. Jadi, rumah dan tanamanya merupakan objek transaksi jual bersama-sama dengan pekaranganya;disamping itu mungkin pula orang memperdagangkan rumah dan pohon-pohon terlepas dari tanahnya, seperti orang menjual benda-benda pada umumnya. Namun dalam hal rumah, ini biasanya berarti rumah tersebut harus dipindahkan.
2)      Kadang kita jumpai, ada pula hak atas pohon(dan atas rumah) itu diikuti oleh hak atas bidang tanah yang bersangkutan, semisal:
Seorang warga persekutuan hukum menanam pohon (buah-buahan) ditanah pertanianya, yang setelah dipetik hasilnya,terpaksa ditinggalkan dalam waktu yang lama, karna tandusnya tanah.
      Disisi lain ada pula masyarakat , kususnya didaerah Lampung yang memperbolehkan jenis transaksi yang mana pihak pembeli hanya mengetahui  sebagian dari wujud tanaman tersebut, semisal bawang, ubi yang masih berada dalam tanah dan lain-lain.Akan tetapi ada masyarakat lain yang mengklaim jenis transaksi tersebut, dengan alasan tidak sesuai dengan syariat Islam, karna peristiwa tersebut dapat merugikan salah satu pihak yang bersangkutan.
b)      Sewa
Sewa dalam transaksi yang berkaitan dengan tumbuhan ini biasanya terjadi apabila si penyewa membayar uang dimuka, sebagaimana halnya yang terjadi pada penyewaan tanah oleh perkebunan-perkebunan gula misalnya, maka transaksi ini sangat menyerupai jual tahunan atau jual ayodan.[6]
Sedangkan untuk sewa yang berkaitan dengan rumah ini biasanya waktu yang ditentukan hanya bersifat sementara.
2.      Transaksi  Ternak dan Benda-Benda Lain
a)      Memperduai (Minangkabau), Maro (Jawa) Toyo (Minahasa), Tesang (Sulawesi Selatan), Nengah (priangan) Mertelu (Jawa) Jejuran (Priangan).
Transaksi yang dimaksud di atas terjadi apabila, adanya kesepakatan antara  kedua pihak. Sedangkan untuk jenis bagi hasil (nggado dalam istilah jawa), yaitu pemlik memberikan ternak  kapada pihak kedua (orang yang nggado) untuk merawat dan menjaga ternak, selain itu pihak kedua juga diperbolehkan mengambil manfaat dari ternak. Adapun untuk pembagian hasil orang yang nggado harus membetikan sebagian (separo kalau memperduai atau maro serta tiga kalau mempertelu atau jejuron) hasil ternaknya kepada pemilik ternak.[7]
b)      Transaksi Penjualan
Penjualan benda dari tangan ketangan berlangsung biasa ;istilah “menjual” yang juga dipakai dalam transaksi tersebut berarti penjualan (kontan), tidak termasuk didalamnya menggadaikan atau menyewakan. Sedangkan hak atas ternak, kususnya dalam hal transaksi, di daerah Lampung dibedakan antara unggas dan ternak besar (kerbau, sapi, dan lain-lain). Sistem penjualan unggas tidak memerlukan syarat-syarat tertentu, yang penting barang ada ditempat dan tetjadi kesepakatan antara kedua belah pihak, sedangkan untuk transaksi yang berukuran besar, diperlukan izin dari kepala kampung dan dihadiri oleh saksi.

c)      Gadai
Menggadaikan (memeganggkan, nyekelake) benda-benda berlangsung denga menyerahkan benda-benda tersebut ke tangan lain. Bila si pemberi gadai terlalu lama untuk menebusnysa, maka benda gadai itu dapat dijual demi perhitugan, ataupun jatuh ketangan si penerima gadai. Dan biasanya jika benda gadai itu disimpan, maka atas uang gadai itu diperhitungkan bunga; bila benda itu  dipakai, maka tidak perlu dibayar bunga.
d)      Sewa
Sewa pada jenis transaksi ternak dan benda adalah suatu trasaksi yang mengijinkan orang lain untuk mengambil manfaat dari ternak maupun benda  dengan membayar uang sewa.
Contoh : A memiliki ternak atau mobil. Ia ingin mengambil manfaat dari ternak atau mobilnya, akan tetapi Ia tidak bisa  mengerjakan sendiri, lalu Ia mengadakan perjanjian dengan B ,yang maksudnya  menyuruh B untuk mengerjakannya.

BAB III
KESIMPULAN
Dari makalah diatas pemakalah dapat menyimpulkan hukum benda bergerak atau biasa disebut dengan hukum perutangan menurut tinjauan hukum adat ialah keseluruhan hukum yang menguasai hak-hak benda selain tanah dan perpindahan hak-hak itu.
Sedangkan untuk bentuk-bentuk transaksi hukum perutangan sangatlah banyak macamnya mulai dari sewa menyewa, gadai, jual beli, numpang, dan masih banyak yang lainnya.











DAFTAR PUSTAKA

Sudiyat, Imam. 2007. Hukum Adat Skesta Asas. Yogyakarta : Liberti.

Muhammad, Busyar. 2000. Pokok-pokok Hukum Adat. Jakarta : Pradnya Paramita.
http;//id.wikipedia.org/wiki/pokok-pokok hukum adat.


[1]  Imam Sudiyat. Hukum Adat Skesta Asas, (Yogyakarta : Liberti, 2007), hal. 53.
[2] Prof. Busyar Muhammad, SH. Pokok-pokok Hukum Adat. (Jakarta : Pradnya Paramita, 2000), Hal. 113.
[3] Prof. Busyar Muhammad, SH., Pokok-Pokok ....., Hal. 117.
[4] http;//id.wikipedia.org/wiki/pokok-pokok hukum adat.
[5] Imam Sudiyat.Hukum Adat...., Hal. 54.
[6] Prof. Busyar Muhammad, SH., Pokok-Pokok ....., Hal. 119.
[7] Prof. Busyar Muhammad, SH., Pokok-Pokok ....., Hal. 117.

Oleh : M. Lutfi dkk, Mahasiswa STAI An-Nawawi Berjan Purworejo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...