Selasa, 22 Februari 2011

Agama dan Semangat Kapitalisme


Pendahuluan
            Kapitalisme, sebuah konsep ekonomi yang terbilang kontroversial, namun sulit untuk digugat keberadaannya. Sifat dinamis dan adaptifnya mempercepat proses akulturasi dan transformasinya dengan sistem ekonomi di negara-negara lain, sekaligus menjadi ciri kapitalisme itu sendiri.
            Perkembangan pesat Kapitalisme tidak bisa lepaskan dari perubahan perubahan yang terjadi selama beberapa dekade, terutama di awal abad 20, dimana tekanan dari sistem ekonomi sosialisme dan komunisme terhadap penekanan yang berlebihan atas peran individu telah merubah bentuk gerakan Kapitalisme dari peran individu ke pasar dan pentingnya intervensi pemerintah.
            Peran penting konsep-konsep yang diajukan Max Weber, yaitu mengenai peran dan pengaruh keagamaan atas semangat Kapitalisme pada individu-individu maupun komunitas-komunitas masyarakat tidak bisa dinafikan dalam hal ini.
             Begitu pentingnya peran Weber dalam transformasi kapitalisme, sehingga elaborasi lebih lanjut bagi konsep Weber menjadi kemestian dan keharusan dalam makalah ini.       

Pengertian dan Sejarah Kapitalisme
Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang menekankan peran kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya[1].  Ebenstein menyebut kapitalisme sebagai sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar sistem perekonomian.[2] Ia mengaitkan perkembangan kapitalisme sebagai bagian dari gerakan individualisme. Sedangkan Hayek  memandang kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam ekonomi.[3]
Dalam kapitalisme, pemerintah bisa turut ambil bagian untuk memastikan kelancaran dan keberlangsungan kegiatan perekonomian yang berjalan, tetapi bisa juga pemerintah tidak ikut campur dalam ekonomi.
Dalam perekonomian kapitalis setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam bisnis untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Semua orang bebas malakukan kompetisi untuk memenangkan persaingan bebas dengan berbagai cara.
Sistem kapitalisme, mulai berkembang di Inggris pada abad 18 M dan kemudian menyebar luas ke kawasan Eropa Barat laut dan Amerika Utara. Risalah terkenal Adam Smith, yaitu The Wealth of Nations (1776), diakui sebagai tonggak utama kapitalisme klasik yang mengekspresikan gagasan "laissez faire"1) dalam ekonomi. Bertentangan sekali dengan merkantilisme yaitu adanya intervensi pemerintah dalam urusan negara. Smith berpendapat bahwa jalan yang terbaik untuk memperoleh kemakmuran adalah dengan membiarkan individu-individu mengejar kepentingan-kepentingan mereka sendiri tanpa keterlibatan perusahaan-perusahaan negara
Awal abad 20 kapitalisme harus menghadapi berbagai tekanan dan ketegangan yang tidak diperkirakan sebelumnya. Munculnya kerajaan-kerajaan industri yang cenderung menjadi birokratis uniform dan terjadinya konsentrasinya pemilikan saham oleh segelintir individu kapitalis memaksa pemerintah (Barat) mengintervensi mekanisme pasar melalui kebijakan-kebijakan seperti undang-undang anti-monopoli, sistem perpajakan, dan jaminan kesejahteraan. Fenomena intervensi negara terhadap sistem pasar dan meningkatnya tanggungjawab pemerintah dalam masalah kesejahteraan sosial dan ekonomi merupakan indikasi terjadinya transformasi kapitalisme. Transformasi ini, menurut Ebenstein, dilakukan agar kapitalisme dapat menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan ekonomi dan sosial. Lahirlah konsep negara kemakmuran (welfare state) yang oleh Ebenstein disebut sebagai "perekonomian campuran" (mixed economy) yang mengkombinasikan inisiatif dan milik swasta dengan tanggungjawab negara untuk kemakmuran sosial.
Calvinisme dan Kapitalisme
Tesis terkenal Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism pada intinya membicarakan tentang etika dari suatu keyakinan religius dan semangat dari sebuah sistem ekonomi dan terbangunnya hubungan antara jiwa dengan keseimbangan neraca. Dalam konteks ini, kata “kapitalisme” atau “semangat kapitalisme”[4]  digunakan dalam pengertian yang sangat partikular, yaitu mengenai struktur yang mengatur sikap masyarakat Barat, bukan hanya ekonominya, tetapi juga sistem hukumnya, struktur politik, ilmu dan teknologi yang terinstitusionalisasi dan seni.
Struktur yang mengatur masyarakat Barat Weber sebut sebagai rasionalitas. Rasionalitas ini merembes ke semua bidang perilaku sosial, organisasi buruh dan manajemen serta ilmu-ilmu kreatif, hukum dan ketertiban, filsafat dan seni, negara dan politik, dan bentuk-bentuk dominan kehidupan privat. Rasionalitas ini didorong oleh perlawanan terhadap fitrah manusia yang cenderung kepada pra-rasional dan magis. Akhirnya, dengan perlawanan ini, motif-motif dibalik perilaku manusia –imaji, pemujaan, magis dan tradisi- direformasi melalui jantung keyakinan agama.
Inilah yang dimaksud Reformasi oleh Weber, kesimpulan yang dengannya dihubungkan teori ekonomi dan doktrin agama, yang mana tesisnya dikembangkan dari pemahamannya tentang “Protestanisme”, khususnya dari “Calvinisme”. Protestan, dalam ragam Calvinisnya menganggap bahwa perilaku orang yang beriman sebagai individu tidak bisa dikenai sanksi oleh otoritas spriritual eksternal, tapi hanya dikenai sanksi-batin dari hati nuraninya sendiri. Perilaku kaum “Protestan” ini termanifestasikan dalam signifikansi religius kerja dalam sebuah panggilan (calling). Atau dengan kata lain, agama dipandang sebagai sebuah orientasi ideologis yang cenderung mengarahkan seseorang pada peran kerja/wirausaha, dimana kemudian mereka memberikan sumbangan pada pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian, calvinisme tidak mengakuii skema mengenai etika sosial. Dipengaruhi kenyataan bahwa "Tuhan telah memberikan janji-janji-Nya untuk kehidupan saat ini dan juga kehidupan yang akan datang," Calvinisme menolak pencampuradukan masalah-masalah yang berhubungan dengan negara dan dengan Tuhan.[5]
Titik tolak Weber dalam mengemukakan tesisnya adalah sebuah survey statistik yang dilakukan pada 1900 oleh sosiolog Jerman Max Offenbacher, tentang “kondisi ekonomi umat Katolik dan Protestan” di Grand Duchy of Baden yang dari segi agama merupakan campuran (60 persen pemeluk Katolik).[6] Offenbacher menemukan bahwa warga negara Protestan Grand Duchy memiliki persentase aset modal yang sangat besar dan menduduki jabatan-jabatan pimpinan, kualifikasi pendidikan, posisi akademis, dan pekerjaan-pekerjaan yang menuntut keterampilan. 
Dari survey Max Offebacher lah, Weber termotimativasi untuk melakukan penyelidikan tentang pengaruh etika religius kepada religius kerja dan semangat kapitalisme pada budaya-budaya dan agama-agama yang lain, seperti Cina dan kekhalifahan Arab.
Kritik atas The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism Weber
Telaah Weber dalam Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, meski memiliki kontribusi bagi transformasi kapitalisme, namun sulit terealisasi, jika unsur asketis Calvinis yang ditonjolkan Weber tidak ada dalam suatu tradisi ataupun agama. Agama Budha, misalnya, membebaskan manusia dari “roda”, dari lingkaran abadi kematian dan kelahiran kembali, melalui kontemplasi dan penghancuran kehendak individu. Akibatnya ia merepresentasikan tipe asketisme yang secara diametral bertentangan dengan Calvinis. Begitu pula dengan konsep “Zakat” dan “Sedekah” dalam Islam, yang menjadi batas bagi kepemilikian individu, melalui distribusi harta kepada fakir dan miskin sebagai bentuk keadilan sosial secara diametral bertentangan dengan Calvinis.
 Selain itu, Weber cenderung memperhatikan perbedaan sosio-ekonomi pada tesisnya pada pihak yang berlawanan pada hubungan antara kondisi sosial dan dogma. Kecenderungan ini dibawa sampai kepada tingkat pemahaman dimana perbedaan antara Timur dan Barat,  dibawah semua perbedaan iman, terutama merupakan masalah kelas.
Penutup
Etika Protestan dan semangat kapitalisme, merupakan sebuah tema yang mempertanyakan bentuk hubungan agama dan semangat kapitalisme, apakah berlawanan atau saling melengkapi? Weber, dalam hal ini, secara tidak langsung menjawab melalui tesisnya tersebut, yang mana motivasi untuk merubah wacana dalam beragama sangat tergantung terhadap individu-individu dalam suatu komunitas agama.
Meski tesis Weber masih sangat dibatasi oleh pandangannya terhadap perilaku Kristen Katolik-Protestan, namun, wacana yang diajukan Weber pada akhirnya memiliki peran yang sangat signifikan dalam transformasi kapitalisme itu sendiri yaitu pergeseran pandangan kapitalisme mengenai peran motivasi agama dan budaya terhadap individu dalam kapitalisme dari tidak ada menjadi ada.
Lalu M. Ariadi
(Aktivis IMSAK dan sekarang menempuh study Sekolah Pasca Serjana Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta)



Referensi
Bagus, L., Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 1996.
Ebenstein, W., Isme-Isme Dewasa Ini, (terjemahan), Erlangga, Jakarta, 1990.
Hayek, F.A., The Prinsiples of A Liberal Social Order, dalam Anthony de Crespigny and Jeremy Cronin, Ideologies of Politics, Oxford University Press, London, 1978. 
Weber, Max, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, (Surabaya: Pustaka Promethea, 2000).
Wrong, Dennis, Ed., Max Weber, Sebuah Khazanah, (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003). 




[1] Bagus, L., Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 1996.
[2] Ebenstein, W., Isme-Isme Dewasa Ini, (terjemahan), Erlangga, Jakarta, 1990.
[3] Hayek, F.A., The Prinsiples of A Liberal Social Order, dalam Anthony de Crespigny and Jeremy Cronin, Ideologies of Politics, Oxford University Press, London, 1978. 
[4] Dennis Wrong, Ed., Max Weber, Sebuah Khazanah, (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003), h. 193 
[5]Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, (Surabaya: Pustaka Promethea, 2000), h. 21
[6]Ibid, h. 200 

Oleh : Lalu M. Ariadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...