Pada awalnya manusia tidak mengenal uang, sehingga melakukan pertukaran antar barang dan jasa secara barter samapai mereka mendapat petunjuk dari Allah SWT untuk membuat uang. Kemudian Allah SWT menciptakan barang tambang emas dan perak sebagai nilai untuk setiap harta. Dinar dan Dirham berfungsi sebagai medium untuk mengukur harga komoditas, disamping juga berfungsi untuk alat tukar transaksi dan barang simpanan kekayaan.
Bangsa Yunani membuat ”uang komoditas” yang disebar antara mereka. Kemudian mereka membuat emas dan perak yang berupa batangan sampai masa dimulainya percetakan uang tahun 406 SM. Mata uang utama mereka adalah Drachma yang terbuat dari perak. Bangsa Romawi pada masa sebelum abad ke-3 SM. menggunakan mata uang yang terbuat dari perunggu yang disebut aes (Aes Signatum Aes Rude). Mereka juga menggunakan mata uang koin yang terbuat dari tembaga. Kemudian mereka mencetak Denarius dari emas yang kemudian menjadi mata uang utama imperium Romawi yang dicetak pada tahu 268 SM.
Bangsa Persia mengadopsi percetakan uang dari bangsa Lydia setelah penyerangan mereka pada tahun 546 SM. Uang dicetak dari emas dan perak dengan perbandingan (ratio) 1:13,5. Suatu hal yang membuat naiknya nilai emas dari perak. Uang yang semula berbentuk persegi empat kemudian mereka ubah menjadi bundar dan mereka ukir pada uang itu ukiran tempat peribadatan dan tempat nyala api. Bangsa Arab di Hijaz pada masa Jahiliyah tidak memiliki mata uang tersendiri. Mereka menggunakan mata uang yang mereka peroleh berupa Dinar Emas Hercules, Byziantum dan Dirham Perak dinasti Sasanid dari Iraq, dan sebagian mata uang bangsa Himyar, Yaman. Sedangkan penduduk Mekkah tidak memperjual belikan Dinar kecuali emas yang tidak ditempa dan tidak diolah.
Pada saat Nabi Muhammad SAW diutus sebagai nabi dan rasul, beliau menetapkan apa yang telah menjadi tradisi penduduk Mekkah, Dinar emas dan dirham perak serta uang logam (uang tembaga) merupakan mata uang yang berlaku sejak zaman Rasulullah SAW Mata uang tersebut terus digunakan dalam transaksi berbagai kebutuhan dan perdagangan hingga muncul mata uang kertas (paper money), tepatnya setelah Perang Dunia I pada tahun 1914 M. Semenjak itu, banyak negara tidak lagi mempergunakan dinar emas dan dirham perak sebagai mata uang dan alat tukar, meskipun sebagian negara tetap menggunakan nama dinar untuk mata uang negara seperti negara Kuwait namun Dinar berbentuk uang kertas
Secara etimologi, kata uang dalam terjemahan bahasa Arab nuqud mempunyai beberapa makna: baik, tunda lawan tempo atau tunai, yakni memberikan bayaran segera. Disebutkan dalam hadits: Naqadani al-tsaman (نقدني الثمن ( yakni dia membayarku harga dengan tunai.
Kata uang (nuqud/money) tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun dalam al Hadits. Karena bangsa Arab menggunakan kata dinar untuk mata uang emas dan dirham untuk mata uang perak. Mereka juga menggunakan kata wariq untuk menunjukan dirham perak dan ’ain untuk dinar emas. Sedangkan kata fulus dipakai untuk menunjukan alat tukar tambahan untuk membeli barang-barang murah.
Para ulama fikih menyebut mata uang dengan menggunakan kata dinar, dirham dan fulus. Untuk menunjukan dinar dan dirham mereka menggunakan kata naqdain (mustanna). Menurut Al-Sarkhasy (Al-Mabsuth: 14), nuqud hanya dapat digunakan untuk transaksi atas nilai yang terkandung, karenanya nuqud tidak dapat dihargai berdasarkan bendanya. Jadi definisi uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standar nilai harga, media transaksi dan media simpanan. Dengan demikian nampak jelas bahwa para fakih mendefinisikan uang dari perspektif fungsi-fungsinya dalam ekonomi, yaitu: a. Sebagai standar nilai harga komoditi dan jasa; b. Sebagai media pertukaran komoditi dan jasa; dan c. Sebagai alat simpanan.
Kesimpulannya, mata uang adalah setiap sesuatu yang dikukuhkan pemerintah sebagai uang dan memberinya kekuatan hukum yang bersifat memenuhi tanggungan dan kewajiban, serta diterima secara luas. Sedangkan uang lebih umum dari pada mata uang, karena mencakup mata uang dan yang serupa dengan uang. Dengan demikian, setiap mata uang adalah uang, tetapi tidak setiap uang itu mata uang.
Islam tidak menentukan mata uang tertentu untuk dijalankan oleh umat muslim, kalaupun Rasulullah saw menyebutkan Dinar dan Dirham bukan berarti mata uang yang harus dipraktikkan hanya terbatas kepada jenis itu saja. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, semua teks agama yang menyebut kata Dinar dan Dirham tidak menyebut satu-satunya alat transaksi. Kedua, karakteristik muamalah (transaksi) bersifat dinamis, diserahkan kepada kreatifitas manusia sepanjang tidak berbuat zalim. Karena pada dasarnya muamalah adalah halal. Ketiga, uang kertas dapat dianalgikan (qiyas) dengan Dinar dalam aspek sebagai stándar nilai, alat tukar dan alat saving.
Perputaran uang selalu menggunakan jasa perbankan, termasuk bank syariah. Bank Syariah yang menggunakan uang kertas, baik berupa Rupiah, Riyal, Ringgit maupun Dólar tidak dapat dikatakan tidak syariah apalagi disebutnya riba. Sebab penilaian syariah atau tidaknya sebuah transaksi dapat dilihat dari dua sisi. Yaitu sisi barang yang menjadi obyek transaksi dan cara bertransaksi. Adapun obyek transaksi yang diharam diantaranya karena najis atau memudlaratkan. Sedangkan cara transaksi yang diharamkan ádalah karena zalim, baik krn curang, menipu atau perjudian. Adapun riba berkenaan dengan pertambahan nilai, baik karena berdasarkan waktu (riba nasi’ah) atau karena jumlahnya (riba fadl). Jadi tidak tepat menyebuk bank syariah tidak menjalankan syariah karena menggunakan uang kertas. Namun bank syariah tetap perlu meningkatkan kualitasnya.
M. Cholil Nafis, Ph D
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU, Koordinator Kekhususan Ekonomi dan Keuangan Syariah Program Pascasarjana Pusat Studi Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia
Bangsa Yunani membuat ”uang komoditas” yang disebar antara mereka. Kemudian mereka membuat emas dan perak yang berupa batangan sampai masa dimulainya percetakan uang tahun 406 SM. Mata uang utama mereka adalah Drachma yang terbuat dari perak. Bangsa Romawi pada masa sebelum abad ke-3 SM. menggunakan mata uang yang terbuat dari perunggu yang disebut aes (Aes Signatum Aes Rude). Mereka juga menggunakan mata uang koin yang terbuat dari tembaga. Kemudian mereka mencetak Denarius dari emas yang kemudian menjadi mata uang utama imperium Romawi yang dicetak pada tahu 268 SM.
Bangsa Persia mengadopsi percetakan uang dari bangsa Lydia setelah penyerangan mereka pada tahun 546 SM. Uang dicetak dari emas dan perak dengan perbandingan (ratio) 1:13,5. Suatu hal yang membuat naiknya nilai emas dari perak. Uang yang semula berbentuk persegi empat kemudian mereka ubah menjadi bundar dan mereka ukir pada uang itu ukiran tempat peribadatan dan tempat nyala api. Bangsa Arab di Hijaz pada masa Jahiliyah tidak memiliki mata uang tersendiri. Mereka menggunakan mata uang yang mereka peroleh berupa Dinar Emas Hercules, Byziantum dan Dirham Perak dinasti Sasanid dari Iraq, dan sebagian mata uang bangsa Himyar, Yaman. Sedangkan penduduk Mekkah tidak memperjual belikan Dinar kecuali emas yang tidak ditempa dan tidak diolah.
Pada saat Nabi Muhammad SAW diutus sebagai nabi dan rasul, beliau menetapkan apa yang telah menjadi tradisi penduduk Mekkah, Dinar emas dan dirham perak serta uang logam (uang tembaga) merupakan mata uang yang berlaku sejak zaman Rasulullah SAW Mata uang tersebut terus digunakan dalam transaksi berbagai kebutuhan dan perdagangan hingga muncul mata uang kertas (paper money), tepatnya setelah Perang Dunia I pada tahun 1914 M. Semenjak itu, banyak negara tidak lagi mempergunakan dinar emas dan dirham perak sebagai mata uang dan alat tukar, meskipun sebagian negara tetap menggunakan nama dinar untuk mata uang negara seperti negara Kuwait namun Dinar berbentuk uang kertas
Secara etimologi, kata uang dalam terjemahan bahasa Arab nuqud mempunyai beberapa makna: baik, tunda lawan tempo atau tunai, yakni memberikan bayaran segera. Disebutkan dalam hadits: Naqadani al-tsaman (نقدني الثمن ( yakni dia membayarku harga dengan tunai.
Kata uang (nuqud/money) tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun dalam al Hadits. Karena bangsa Arab menggunakan kata dinar untuk mata uang emas dan dirham untuk mata uang perak. Mereka juga menggunakan kata wariq untuk menunjukan dirham perak dan ’ain untuk dinar emas. Sedangkan kata fulus dipakai untuk menunjukan alat tukar tambahan untuk membeli barang-barang murah.
Para ulama fikih menyebut mata uang dengan menggunakan kata dinar, dirham dan fulus. Untuk menunjukan dinar dan dirham mereka menggunakan kata naqdain (mustanna). Menurut Al-Sarkhasy (Al-Mabsuth: 14), nuqud hanya dapat digunakan untuk transaksi atas nilai yang terkandung, karenanya nuqud tidak dapat dihargai berdasarkan bendanya. Jadi definisi uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standar nilai harga, media transaksi dan media simpanan. Dengan demikian nampak jelas bahwa para fakih mendefinisikan uang dari perspektif fungsi-fungsinya dalam ekonomi, yaitu: a. Sebagai standar nilai harga komoditi dan jasa; b. Sebagai media pertukaran komoditi dan jasa; dan c. Sebagai alat simpanan.
Kesimpulannya, mata uang adalah setiap sesuatu yang dikukuhkan pemerintah sebagai uang dan memberinya kekuatan hukum yang bersifat memenuhi tanggungan dan kewajiban, serta diterima secara luas. Sedangkan uang lebih umum dari pada mata uang, karena mencakup mata uang dan yang serupa dengan uang. Dengan demikian, setiap mata uang adalah uang, tetapi tidak setiap uang itu mata uang.
Islam tidak menentukan mata uang tertentu untuk dijalankan oleh umat muslim, kalaupun Rasulullah saw menyebutkan Dinar dan Dirham bukan berarti mata uang yang harus dipraktikkan hanya terbatas kepada jenis itu saja. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, semua teks agama yang menyebut kata Dinar dan Dirham tidak menyebut satu-satunya alat transaksi. Kedua, karakteristik muamalah (transaksi) bersifat dinamis, diserahkan kepada kreatifitas manusia sepanjang tidak berbuat zalim. Karena pada dasarnya muamalah adalah halal. Ketiga, uang kertas dapat dianalgikan (qiyas) dengan Dinar dalam aspek sebagai stándar nilai, alat tukar dan alat saving.
Perputaran uang selalu menggunakan jasa perbankan, termasuk bank syariah. Bank Syariah yang menggunakan uang kertas, baik berupa Rupiah, Riyal, Ringgit maupun Dólar tidak dapat dikatakan tidak syariah apalagi disebutnya riba. Sebab penilaian syariah atau tidaknya sebuah transaksi dapat dilihat dari dua sisi. Yaitu sisi barang yang menjadi obyek transaksi dan cara bertransaksi. Adapun obyek transaksi yang diharam diantaranya karena najis atau memudlaratkan. Sedangkan cara transaksi yang diharamkan ádalah karena zalim, baik krn curang, menipu atau perjudian. Adapun riba berkenaan dengan pertambahan nilai, baik karena berdasarkan waktu (riba nasi’ah) atau karena jumlahnya (riba fadl). Jadi tidak tepat menyebuk bank syariah tidak menjalankan syariah karena menggunakan uang kertas. Namun bank syariah tetap perlu meningkatkan kualitasnya.
M. Cholil Nafis, Ph D
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU, Koordinator Kekhususan Ekonomi dan Keuangan Syariah Program Pascasarjana Pusat Studi Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar