PENETAPAN HARGA DALAM ISLAM
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Perekonomian merupakan saka guru kehidupan negara. Perekonomian negara yang kokoh akan mampu menjamin kesejahteraan dan kemampuan rakyat. Salah satu penunjang perekonomian negara sebagaimana yang telah kita ketahui adalah kesehatan pasar, baik pasar barang jasa, pasar uang, maupun pasar tenaga kerja. Kesehatan pasar, sangat tergantung pada makanisme pasar yang mampu menciptakan tingkat harga yang seimbang, yakni tingkat harga yang dihasilkan oleh interaksi antara kekuatan permintaan dan penawaran yang sehat. Apabila kondisi ini dalam keadaan wajar dan normal (tanpa ada pelanggaran), monopoli misalnya?maka harga akan stabil, namun apabila terjadi persaingan yang tidak fair, maka keseimbangan harga akan terganggu dan yang pada akhirnya mengganggu hak rakyat secara umum.
Pemerintah Islam, sejak Rasulullah SAW di Madinah concern pada masalah keseimbangan harga ini, terutama pada bagaimana peran negara dalam mewujudkan kestabilan harga dan bagaimana mengatasi masalah ketidakstabilan harga. Para ulama berbeda pandapat mengenai boleh tidaknya negara menetapkan harga. Masing Masing golongan ulama ini memiliki dasar hukum dan interpretasi.
Berdasarkan perbedaan pendapat para ulama tersebut, makalah ini mengkaji penetapan harga oleh negara dalam koridor fikih dengan mempertimbangkan realitas ekonomi.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana menurut Islam penetapan harga dalam berbisnis dan berdagang?
b. Bagaimana dengan prakteknya di Indonesia ?
B. Pembahasan
- Kontroversi Pendapat Ulama Mengenai Penetapan Harga
Sebagian ulama menolak peran negara untuk mencampuri urusan ekonomi, diantaranya untuk menetapkan harga sebagian ulama yang lain membenarkan negara untuk menetapkan harga. Perbedaan pendapat ini berdasarkan pada adanya khabar yang diriwayatkan oleh Anas yang dikutip oleh Dr. Yusuf Qardhawi sebagaimana berikut: “Orang-orang mengatakan, Wahai Rasulullah, harga mulai melonjak. Patoklah harga untuk kami! Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah-lah yang mematok harga, yang menyempitkan dan melapangkan rizki, dan saya sungguh berharap untuk bertemu Allah dalam kondisi tidak seorang pun dari kalian yang menuntut kepadaku dengan suatu kedzalimanpun dalam masalah darah dan harta.[1]
Asy-Syaukani menyatakan, khabar dijadikan dalil bagi pengharaman pematokan harga dan bahwa (pematokan harga) merupakan suatu kedzaliman (yaitu penguasa memerintahkah para penghuni pasar agar tidak menjual barang barang mereka kecuali dengan harga yang sekian, kemudian melarang mereka untuk menambah ataupun mengurangi harga tersebut). Alasannya bahwa manusia dikuasakan atas harta mereka sedangkan pematokan harga adalah pemaksaan terhadap mereka.[2]
Jika memang demikian maka hal tersebut seperti dengan perkataan kaum Syu’aib yang termaktub dalam al-Qur’an :
(#qä9$s% Ü=øyèà±»t è?4qn=|¹r& âæDù's? br& x8çøI¯R $tB ßç7÷èt !$tRät!$t/#uä ÷rr& br& @yèøÿ¯R þÎû $oYÏ9ºuqøBr& $tB (#às¯»t±nS ( ¨RÎ) |MRV{ ÞOÎ=yÛø9$# ßÏ©§9$#
Mereka berkata: "Hai Syu'aib, apakah agamamuyang menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat Penyantun lagi berakal.”[3]
Yang benar sebagaimana yang telah kita ketahui bersama adalah manusia dikuasakan(amanat) atas harta mereksa dengan syarat tidak membahayakan mereka dan orang lain, karena tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain dari Allah SWT. Ini sejalan dengan hadiś yang dipakai menjadi kaidah fiqh :
Imam Malik pernah membolehkan bagi seorang Imam untuk mematok harga. Dan Mażhab Hambali dan Syafi’i menyatakan bahwa negara tidak mempunyai hak untuk menetapkan harga.[5]
Ibnu Qudamah al Maqdisi, salah seorang pemikir terkenal dari Mażhab Hambali menuliskan bahwasannya Imam (pemimpin pemerintah) tidak memiliki wewenang untuk mengatur harga bagi penduduk, penduduk boleh menjual barang mereka dengan harga berapapun yang mereka mau. Para ulama’ dari Mażhab Syafi,i juga memiliki pendapat yang sama.[6]
Ibnu Qudhamah memberikan dua alasan tidak memperkenankan mengatur harga. Pertama Rasulullah tidak pernah menetapkan harga meskipun penduduk menginginkan. Bila itu dibolehkan pasti Rasulullah akan melaksanakannya. Kedua menetapkan harga adalah suatu ketidakadilan yang dilarang. Hal ini karena melibatkan hak milik seorang, yang di dalamnya adalah hak untuk menjual pada harga berapapun, asal ia bersepakat dengan pembelinya.[7]
Dari pandangan ekonomis, Ibnu Qudamah menganalisis bahwa penetapan harga juga mengindikasikan pengawasan atas harga tak menguntungkan. Ia berpendapat bahwa penetapan harga akan mendorong harga menjadi lebih mahal. Sebab jika pandangan dari luar mendengar adanya kebijakan pengawasan harga, mereka tak akan mau membawa barang dagangannya ke suatu wilayah dimana ia dipaksa menjual barang dagangannya di luar harga yang dia inginkan.[8]
Dengan demikian para pedagang lokal yang memiliki barang dagangan tentunya jika kita perkirakan akan menyembunyikan barang dagangan. Para konsumen yang membutuhkan akan meminta barang-barang dagangan yang mereka butuhkan dan membuatkan permintaan mereka tak bisa dipuaskan, karena harganya meningkat. Harga meningkat dan kedua belah pihak akan menderita. Para penjual akan menderita karena dibatasi dari menjual barang dagangan mereka dan para pembeli menderita karena keinginan mereka tidak bisa dipenuhi.
Beberapa argumentasi itu sampai di sini dapat disimpulkan bahwa harga yang ditetapkan akan membawa akibat munculnya tujuan yang saling bertentangan. Harga yang tinggi, pada umumnya bermula dari situasi meningkatnya permintaan atau menurunnya suplai. Harga yang lebih rendah akan mendorong permintaan baru atau meningkatkan permintaanya dan tentunya akan mengecilkan hati para importir untuk mengimpor barang tersebut. Dan sebaliknya pada saat yang sama, akan mendorang produksi dalam negeri mencari pasar luar negeri (ekspor).
Argumentasi Ibnu Qudamah melawan penetapan harga oleh pemerintah, dikatakan oleh Asmuni Mth , MA . serupa dengan para ahli ekonomi modern. Tetapi, sejumlah ahli fiqih Islam mendukung kebijakan pengaturan harga, walaupun baru dilaksanakan dalam situasi penting dan manekankan perlunya kebijakan harga yang adil. Mażhab Maliki dan Hanafi, menganut keyakinan ini.
Kalau kita pahami pendapat dari Asmuni Mth , MA yang mengemukakan kontroversi antar para ulama berkisar dua poin:
Pertama, jika terjadi harga yang tinggi di pasaran dan seseorang berusaha menetapkan harga yang lebih tinggi dari pada harga sebenarnya perbuatan mereka itu menurut Mażhab Maliki harus dihentikan. Tetapi, bila para penjual mau menjual di bawah harga semestinya, dua macam pendapat dilaporkan dari dua pihak. Menurut Syafi’i tetap menentang berbagai campur tangan terhadap keadaan itu. Kedua, dari perbedaan pendapat antar para ulama adalah penetapan harga maksimum bagi para distribuor (dalam kondisi normal), ketika mereka telah memenuhi kewajibannya. Inilah pendapat yang bertentangan dengan mayoritas para ulama, bahkan oleh Maliki sendiri. Tetapi beberapa ahli, seperti Sa’id bin Musayyib, Rabiah bin Abdul Rahman dan Yahya bin Sa’id, menyetujuinya. Para pengikut Abu Hanifah berkata bahwa otoritas harus menetapkan harga, hanya bila masyarakat menderita akibat peningkatan harga itu, di mana hak penduduk harus dilindungi dari kerugian yang diakibatkan olehnya.[9]
Ibnu Taimiyah menafsirkan sabda Rasulullah SAW yang menolak penetapan harga, meskipun pengikutnya memintanya, itu adalah sebuah kasus khusus dan bukan aturan umum. Itu bukan merupakan merupakan laporan bahwa seseorang tidak boleh menjual atau melakukan sesuatu yang wajib dilakukan atau menetapkan harga melebihi konpensasi yang ekuivalen. Ia membuktikan bahwa Rasulullah SAW sendiri menetapkan harga yang adil, jika terjadi perselisihan antara dua orang. Kondisi pertama, ketika dalam kasus pembebasan budaknya sendiri, Ia mendekritkan bahwa harga yang adil dari budak itu harus dipertimbangkan tanpa ada tambahan atau pengurangan (lawakasa wa la shatata) dan setiap orang harus diberi bagian dan budak itu harus dibebaskan. Kondisi kedua, dilaporkan ketika terjadi perselisihan antara dua orang, satu pihak memiliki pohon, yang sebagian tumbuh di tanah orang lain, pemilik tanah menemukan adanya bagian pohon yang tumbuh di atas tanahnya yang dirasa mengganggunya. Ia mengajukan masalah itu kepada Rasulullah SAW. Beliau memerintahkan pemilik pohon untuk menjual pohon itu kepada pemilik tanah dan menerima konpensasi atau ganti rugi yang adil kepadanya. Orang itu ternyata tak melakukan apa-apa. Kemudian Rasulullah SAW membolehkan pemilik tanah untuk menebang pohon tersebut dan ia memberikan konpensasi harganya kepada pemilik pohon.[10]
Ibnu Taimiyah menjelasklan bahwa “jika harga itu bisa ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan satu orang saja, pastilah akan lebih logis kalau hal itu ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan publik atas produk makanan, pakaian dan perumahan, karena kebutuhan umum itu jauh lebih penting dari pada kebutuhan seorang individu.[11]
Itu sebabnya penetapan harga hanya mungkin dilakukan jika diketahui secara pasti ada kelompok yang melakukan perdagangan dan bisnis melakukan manipulasi sehingga berakibat menaikkan harga. Ketiadaan kondisi ini, tak ada alasan yang bisa digunakan untuk menetapkan harga. Sebab, itu tak bisa dikatakan pada seseorang yang tak berfungsi sebagai penyuplai barang dagangan, sebab tak akan berarti apa-apa atau tak akan adil. Argumentasi terakhir ini tampaknya lebih realistis untuk dipahami.
Menurut Ibnu Taimiyah, barang barang yang dijual di Madinah (pada zaman Nabi) sebagian besar berasal dari impor. Kondisi apapun yang dilakukan terhadap barang itu, akan bisa menyebabkan timbulnya kekurangan suplai dan memperburuk situasi. Jadi, Rasulullah SAW menghargai kegiatan impor tadi dengan mengatakan, “Seseorang yang mambawa barang yang dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari, siapapun yang menghalanginya sangat dilarang. Faktanya saat itu penduduk Madinah tidak memerlukan penetapan harga.[12]
Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang diutarakan Dr. Yusuf Qardhawi menggabungkan tentang dibolehkan atau tidaknya tas’ir : tas’ir diperbolehkan jika adil dan dilarang jika ada kedzaliman.[13]
Dan Ibnu Khaldun pernah meneliti harga-harga di kota-kota. Ia membagi menjadi dua jenis, barang kebutuhan pokok dan barang mewah. Menurut dia bila suatu kota berkembang dan selanjutnya populasinya serta bertambah banyak maka harga-harga pokok akan mendapatkan penggandaannya. Akibat penawaran meningkat dan ini berarti penurunan harga. Adapun untuk barang-barang mewah, permintaannya akan meningkat sejalan dengan berkembangnya kota dan berubahnya gaya hidup. Akibatnya, harga barang mewah meningkat. Ibnu Khaldun juga menjelaskan mekanisme penawaran dan permintaan dalam menentukan harga keseimbangan. Secara lebih rinci ia menjabarkan tentang perkembangan pengaruh persaingan diantara konsumen untuk mendapatkan barang pada sisi pemintaan. Setelah itu ia menjelaskan pula pengaruh meningkatnya biaya poduksi karena pajak dan pungutan-pungutan lain di kota tesebut pada sisi penawaran.[14]
Dari keterangan di atas, tampak sekali bahwa penetapan harga hanya dianjurkan bila para pemegang stok barang atau para perantara di kawasan itu berusaha menaikkan harga. Karena itu jika tidak ada masalah dalam harga, lebih baik tidak menetapkan harga, tetapi membiarkan pasar yang akan berperan di dalamnya.
- Urgensi Penetapan Harga
Drs. H. Asmuni Mth., MA. Mengutarakan bahwa Ibnu Taimiyah membedakan dua tipe penetapan harga: tak adil dan tak sah, serta adil dan sah. Penetapan harga yang tak adil dan tak sah, berlaku atas naiknya harga akibat kompetisi kekuatan pasar yang bebas, yang mengakibatkan terjadinya kekurangan suplai atau menaikkan permintaan. Ibnu Taimiyah sering menyebut beberapa syarat dari kompetisi yang sempurna. Misalnya, ia menyatakan, “Memaksa penduduk menjual barang-barang dagangan tanpa ada dasar kewajiban untuk menjual, merupakan tindakan yang tidak adil dan ketidakadilan itu dilarang. Ini berarti, penduduk memiliki kebebasan sepenuhnya untuk memasuki atau keluar dari pasar. Sedangkan penetapan harga yang adil dan sah sebagaimana pada penjelasan di atas yaitu penetapan harga diberlakukan apabila ada kedzaliman dalam penentuan harga atau karena ada ketimpangan harga yang kiranya diperlukan adanya tas’ir. Dan sah jika untuk kemashlahatan bersama.[15]
Tak dapat dielakkan lagi bahwa penetapan harga sangat penting dan dibutuhkan sekali pada saat terjadi monopoli, ketimpangan atau kedzaliman dalam penentuan harga pada suatu pasar.
- Penetapan Harga Pada Ketidaksempurnaan Pasar
Berbeda dengan kondisi musim kekeringan dan perang, Ibnu Taimiyah merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah ketika terjadi ketidaksempurnaan memasuki pasar. Misalnya, jika para penjual menolak untuk menjual barang dagangan mereka kecuali jika harganya mahal dari pada harga normal (al-qimah al-ma’rifah) dan pada saat yang sama penduduk sangat membutuhkan barang-barang tersebut. Maka mereka diharuskan menjualnya pada tingkat harga yang setara, contoh sangat nyata dari ketidaksempurnaan pasar adalah adanya monopoli dalam perdagangan makanan dan barang-barang serupa. Dalam kasus seperti itu, otoritas harus menetapkan harganya untuk penjualan dan pembelian mereka. Pemegang monopoli tak boleh dibiarkan bebas melaksanakan kekuasaannya, sebaliknya otoritas harus menetapkan harga yang disukainya, sehingga melawan ketidakadilan terhadap penduduk.[16]
Dalam poin ini, Ibnu Taimiyah menggambarkan prinsip dasar untuk membongkar ketidakadilan: “Jika penghapusan seluruh ketidakadilan tak mungkin dilakukan, seseorang wajib mengeliminasinya sejauh ia bisa melakukannya. Itu sebabnya, jika monopoli tidak dapat dicegah, tak bisa dibiarkan begitu saja merugikan orang lain, sebab itu regulasi harga tak lagi dianggap cukup. Di abad pertengahan, umat Islam sangat menentang praktek menimbun barang dan monopoli, dan mempertimbangkan pelaku monopoli itu sebagai perbuatan dosa. Meskipun menentang praktek monopoli, Ibnu Taimiyah juga membolehkan pembeli untuk membeli barang dari pelaku monopoli sebab jika itu dilarang, penduduk akan semakin menderita.[17]
Karena hal itu, perlunya menasihati pemerintah untuk menetapkan harga dan pemerintah tak memperbolehkan para penjual membuat perjanjian untuk menjual barang pada tingkat harga yang ditetapkan lebih dulu, tidak juga oleh para pembeli, sehingga mereka membentuk kekuatan untuk menghasilkan harga barang dagangan pada tingkat yang lebih rendah, kasus serupa disebut monopoli.
Ibnu Taimiyah juga sangat menentang diskriminasi harga untuk melawan pembeli atau penjual yang tidak tahu harga sebenarnya yang berlaku di pasar. Ia menyatakan, “Seorang penjual tidak dibolehkan menetapkan harga di atas harga biasanya, harga yang tidak umum di dalam masyarakat, dari individu yang tidak sadar tetapi harus menjualnya pada tingkat harga yang umum atau mendekatinya. Jika seorang pembeli harus membayar pada tingkat harga yang berlebihan, ia memiliki hak untuk memperbaiki transaksi bisnisnya. Seseorang tahu, diskriminasi dengan cara itu bisa dihukum dan dikucilkan haknya memasuki pasar tersebut. [18]
- Musyawarah untuk Menetapkan Harga
Patut dicatat dan diingat oleh kita para mahasiswa Jurusan Mu’amalah, meskipun dalam berbagai kasus dibolehkan mengawasi harga, tapi dalam seluruh kasus tak disukai keterlibatan pemerintah dalam menetapkan harga. Mereka boleh melakukannya setelah melalui perundingan, diskusi dan konsultasi dengan penduduk yang berkepentingan.
Dalam hubungannya dengan masalah musyawarah penetapan harga, Ibnu Taimiyah menjelaskan sebuah metode yang diajukan pendahulunya Ibnu Habib, menurutnya Imam (kepala pemerintahan) harus menjalankan musyawarah dengan para tokoh perwakilan dari pasar (wujuh ahl al-suq). Pihak lain juga diterima hadir dalam musyawarah ini, karena mereka harus juga dimintai keterangannya. Setelah melakukan perundingan dan penyelidikan tentang pelaksanaan jual-beli dan pemerintah harus secara persuasif menawarkan ketetapan harga yang didukung oleh peserta musyawarah dan juga seluruh penduduk. Jadi, keseluruhannya harus bersepakat tentang hal itu, harga itu tak boleh ditetapkan tanpa persetujuan dan izin mereka. Untuk menjelaskan tujuan gagasan membentuk komisi untuk berkonsultasi, ia mengutip pendapat ahli fikih lainnya Abu al-Walid, yang menyatakan, “Logika di balik ketentuan ini adalah untuk mencari –dengan cara itu- kepentingan para penjual dan para pembeli, dan menetapkan harga harus membawa keuntungan dan kepuasan orang yang membutuhkan penetapan harga (penjual) dan tidak mengecewakan penduduk (selaku pembeli). Jika harga itu dipaksakan tanpa persetujuan mereka (penjual) dan membuat mereka tidak memperoleh keuntungan, maka penetapan harga seperti itu berarti korup yang mengakibatkan stok bahan kebutuhan sehari-hari akan menghilang dan barang-barang penduduk menjadi hancur.[19]
Ia menegaskan secara jelas kerugian dan bahaya dari penetapan harga yang sewenang-wenang, tak akan memperoleh dukungan secara populer. Misalnya, akan muncul pasar gelap atau pasar abu-abu atau manipulasi kualitas barang yang dijual pada tingkat harga yang ditetapkan itu. Ketakutan seperti itu dinyatakan juga oleh Ibnu Qudamah. Bahaya yang sama, juga banyak dibahas oleh ahli-ahli ekonomi modern, karena itu disangsikan lagi, bahaya ini harus ditekan, kalau bisa dihilangkan sama sekali. Harga itu perlu ditetapkan melalui musyawarah bersama dan diciptakan oleh rasa kewajiban moral serta pengabdian untuk kepentingan umum.[20]
- Penetapan Harga dalam Faktor Pasar
Drs. Asmuni , MA . mengemukakan pendapat yang dinukilnya dari Imam Jalaluddin As-Suyuti, bahwasanya ketika labourers dan owners menolak membelanjakan tenaga, material, modal dan jasa untuk produksi kecuali dengan harga yang lebih tinggi dari pada harga pasar wajar, pemerintah boleh menetapkan harga pada tingkat harga yang adil dan memaksa mereka untuk menjual faktor-faktor produksinya pada harga wajar. Tak terlepas dari hal itu pendapat Ibnu Taimiyah yang juga dinukilnya menyatakan dengan, “Jika penduduk membutuhkan jasa dari pekerja tangan yang ahli dan pengukir, dan mereka menolak tawaran mereka atau melakukan sesuatu yang menyebabkan ketidaksempurnaan pasar maka pemerintah harus mengeluarkan kebijakan penetapan harga itu untuk melindungi para pemberi kerja dan pekerja dari saling mengeksploitasi satu sama lain.” Apa yang dinyatakan itu berkaitan dengan tenaga kerja, yang dalam kasus yang sama bisa dikatakan sebagai salah satu faktor pasar. Drs Asmuni, MA pun akhirnya menyimpulkan dengan :
a. Tak seorangpun diperbolehkan menetapkan harga lebih tinggi atau lebih rendah daripada harga yang ada. Penetapan harga yang lebih tinggi akan menghasilkan eksploitasi atas kebutuhan penduduk dan penetapan harga yang lebih rendah akan merugikan penjual.
b. Dalam segala kasus, pengawasan atas harga adalah tidak jujur.
c. Pengaturan harga selalu diperbolehkan.
d. Penetapan harga hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat.
- Penetapan Harga Dalam Sistem Perekonomian Modern
Bagian ini pemakalah tambahkan kiranya para pembaca dapat membandingkan antara penetapan harga menurut tinjauan Islam dengan penetapan harga yang terdapat pada sistem perekonomian modern.
Sebagaimana yang dimuat zonaekis.com(web khusus membahas ekonomi Islam) bahwa secara teoritis tidak ada perbedaan signifikan antara perekonomian klasik dengan modern. Teori harga secara mendasar sama, yakni bahwa harga wajar atau harga keseimbangan diperoleh dari interaksi antara kekuatan permintaan dan penawaran (suplai) dalam suatu persaingan sempurna, hanya saja dalam perekonomian modern teori dasar ini berkembang menjadi kompleks karena adanya diversifikasi pelaku pasar, mekanisme perdagangan, instrumen, maupun perilakunya, yang mengakibatkan terjadinya distorsi pasar.[21]
Distorsi pasar yang kompleks dalam sistem perekonomian modern melahirkan persaingan tidak sempurna dalam pasar. Secara sunnatullah memang, apabila persaingan sempurna berjalan, keseimbangan harga di pasar akan terwujud dengan sendirinya. Namun sunnatullah pula, bahwa manusia – dalam hal ini sebagai pelaku pasar tidaklah sempurna. Maka dalam praktek, banyak dijumpai penyimpangan perilaku yang merusak keseimbangan pasar. Di Indonesia misalnya, secara rasional keseimbangan pasar dirusak oleh konglomerasi dan monopoli yang merugikan masyarakat konsumen, penimbunan BBM maupun beras dan kasus terakhir bebas masuknya gula dan beras impor yang dimasukkan oleh pelaku bermodal besar, sehingga suplai gula di pasar menjadi tinggi dan akhirnya turunlah harga jualnya di bawah biaya produksinya. Kasus ini jelas merugikan petani tebu dan pabrik gula lokal. Dalam ekonomi liberal atau bebas, kasus ini sah dan dibenarkan atas prinsip bahwa barang bebas keluar masuk pasar dan kebebesan bagi para pelaku pasar untuk menggunakan modalnya. Dan pemerintah atau negara tidak berhak melakukan intervensi terhadap pasar.[22]
Kasus-kasus di atas, bisa diselesaikan secara adil apabila negara melakukan intervensi pasar, misalnya dengan memaksa penimbun untuk menjual barangnya ke pasar dengan harga wajar, menetapkan harga yang adil sehingga pelaku monopoli tidak bisa menaikkan harga seenaknya. Para ahli ekonomi modern pun menganjurkan negara untuk menetapkan harga dalam kasus-kasus tertentu seperti di atas. Secara pasti di Indonesia pernah dilakukan penetapan harga seperti yang pernah ditetapkan Presiden Abdurrahman Wachid pada harga gabah di negara ini. Penetapan harga tersebut tertuang dalam “Inpres RI No. 8 Tahun 2000 Tentang Penetapan Harga Dasar Gabah Serta Harga Pembelian Gabah dan Beras.”[23]
Kenaikan harga yang disebabkan oleh ketidaksempurnaan pasar dalam suatu perekonomian modern, terdiri atas beberapa macam berdasarkan pada penyebabnya, yakni harga monopoli, kenaikan harga sebenarnya, dan kenaikan harga yang disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan pokok. Untuk itu adalah peran pemerintah untuk melakukan intervensi pasar dalam rangka mengembalikan kesempurnaan pasar, salah satunya adalah dengan menetapkan harga pada keempat kondisi di atas.
Dalam rangka melindungi hak pembeli dan penjual, Islam membolehkan bahkan mewajibkan melakukan intervensi harga. Ada beberapa faktor yang membolehkan intervensi harga antara lain :
a. Intervensi harga menyangkut kepentingan masyarakat yaitu melindungi penjual dalam hal profit margin sekaligus pembeli dalam hal purchasing power.
b. Jika harga tidak ditetapkan ketika penjual menjual dengan harga tinggi sehingga merugikan pembeli.
c. Intervensi harga melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas karena pembeli biasanya mewakili masyarakat yang lebih luas, sedangkan penjual mewakili kelompok yang lebih kecil.
Mekanisme tas’ir telah dibicarakan diatas, sedangkan secara konkretnya adalah pemerintah berupaya menyediakan komoditas dimaksud dan menyesuaikannya dengan permintaan pasar. Sebaliknya, apabila stok barang cukup banyak di pasar, tetapi harga tetap melonjak naik, maka pihak pemerintah perlu melakukan pengawasan yang ketat. Apabila kenaikan harga ini disebabkan ulah para pedagang, misalnya dengan melakukan penimbunan barang dengan tujuan menjualnya setelah terjadi lonjakan harga, pemerintah berhak untuk mematok harga.[24]
C. Simpulan
Dengan berbagai kekurangan maka pemakalah dapat memberikan kesimpulan :
1. Penetapan harga (tas’ir) pada suatu perdagangan dan bisnis diperbolehkan jika di dalamnya terdapat kemungkinan adanya manipulasi sehingga berakibat naiknya harga.
2. Praktek tas’ir di Indonesia sudah pernah dilakukan seperti penetapan harga dasar gabah dan beras pada zaman pemerintahan Presiden Abdurrahman Wachid yang tertuang dalam “Inpres RI No. 8 Tahun 2000 Tentang Penetapan Harga Dasar Gabah Serta Harga Pembelian Gabah dan Beras.”
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Al-Karim wa Tarjamatuhu Ma’aniyahu ila al-Lughat al-Andunisiyyati.( Mujma’ Khadim al-Haramain : Madinah
Asmuni. Penetapan Harga dalam Islam: Perpektif Fikih dan Ekonomi di http://shariaeconomy.blogspot.com/2008/07/penetapan-harga-dalam-islam-perpektif.html
As-Suyuthi, Imam Jalaluddin. Al-Asybah wa An-Nadhair. Maktabah Ats-Tsaqafi Li An-Nasyri WA At-Tauzi’ : Kairo
Inpres RI No. 8 Tahun 2000 Tentang Penetapan Harga Dasar Gabah Serta Harga Pembelian Gabah dan Beras yang diunduh dari http://www.tempointeraktif.com/hg/peraturan/2004/04/07/prn,20040407-03,id.html
Karim, Adiwarman. 2003. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Gema Insani Press : Jakarta
Qardhawi, Yusuf. 2000. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Gema Insani Press : Jakarta , yang diterjemahka oleh Zainal Arifin dan Dahlia Husin dari Daurul Qiyam wal Akhlam fil Iqtishadil Islami
[1] Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam.(Jakarta : Gema Insani Press, 2000), hlm. 256 yang diterjemahkan oleh Zainal Arifin dan Dahlia Husin dari Daurul Qiyam wal Akhlam fil Iqtishadil Islami
[2] Asmuni Mth, Penetapan Harga dalam Islam: Perpektif Fikih dan Ekonomi di http://shariaeconomy.blogspot.com/2008/07/penetapan-harga-dalam-islam-perpektif.html
[3] Al-Quran Al-Karim wa Tarjamatuhu Ma’aniyahu ila al-Lughat al-Andunisiyyati.( Mujma’ Khadim al-Haramain : Madinah), hkm. 340
[4] Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Al-Asybah wa An-Nadhair. (Maktabah Ats-Tsaqafi Li An-Nasyri WA At-Tauzi’ : Kairo, 2007), hlm. 120
[14] Adiwarman Karim. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. (Jakarta : Gema Insani Press, 2003), hlm. 163
Tidak ada komentar:
Posting Komentar