Pendahuluan
Segala puji bagi Allah yang telah memberi nikmat akal dan ilmu bagi kita semua untuk berfikir dan mencari kebenaran.
Solawat serta salam semoga tetap tercurahkan pada baginda nabi Muhammad SAW. sepanjang masa serta sahabat dan tabiin.
Seiring dengan berjalannya waktu, masalah-masalah yang dihadapi manusia dari hari kehari terus berkembang dan semakin komplek, yang tentunya membutuhkan penyelesaian secara cepat dan akurat, di samping harus di cari penyelesaian hukumnya. Ambil contoh dalam masalah kedokteran seperti pencangkokan anggota tubuh, penyakit Aids yang belum ditemukan obatnya. Apakah hukumnya melakukan karantina tehadap penderita aids itu sendiri diperbolehkan sara’ atau tidak?. Karena penyakit ini berbeda dengan penyakit lain taruhlah misalnya Lepra, dari segi penularan dan cara penanganan. Padahal penderita aids juga manusia, yang sama dengan yang lain. Mereka butuh bersosialisasi, bergaul dalam ruang lingkupnya sebagai makluk sosial. Dan masalah-masalah baru akan datang silih berganti, yang belum ditemukan ketika itu. Bahkan mungkin belum tersentuh oleh pikirkan manusia saat itu. Pun ulama’ juga tidak menjelaskan dan menerangkan hukum masalah diatas secara tersurat. Salah satu cara untuk mengetahui berbagai permasalahan hukum diatas adalah menggunakan metodologi ijtihad, apa pengertiannya, bagaimana penerapannya, dan apakah masih relevan metode tersebut diterapkan pada saat ini. Oleh karena itu tulisan ini akan berusaha mengulas pelbagai problematika diatas sekaligus menawarkan solusinya.
Ijtihad dan pengertiannya
Ijtihad secara bahasa adalah daya dan upaya untuk mencari sesuatu . Sedangkan secara istilah adalah daya dan upaya yang dilakukan seseorang untuk mencari hukum syra’, sehingga menghasilkan hukum[1]. Adapun tentang hukum ijtihad, para ulama’ sepakat bahwa hal itu diperbolehkan.
Para sahabat dan tabi’in serta ulama’ terdahulu, bahkan sampai sekarang juga melakukan ijtihad untuk mencari ketetapan hukum atas segala permasalahan yang muncul, yang tentunya tidak dijelaskan dalam al-Qur`an ataupun al-Hadist [2]. Hal itu membuktikan bahwa ijtihad adalah metode yang dilegalkan oleh syara’. Ijtihad hukumnya fardhu kifayah bagi orang Islam, karena untuk mencapai taraf ini dibutuhkan daya, upaya dan usaha yang tidak ringan. Kalau ijtihad diwajibkan bagi setiap orang Islam maka akan menyebabkan keadaan dunia ini tidak bisa seimbang dan akan menimbulkan kekacauan serta akan ada anggapan bahwa Islam adalah agama yang sulit dan berat. Coba kita bayangkan, seandainya semua orang sibuk belajar terus menerus sampai punya pengetahuan yang cukup untuk melakukan ijtihad, pasti tidak akan ada orang yang sempat bercocok tanam, berdagang, dan tidak ada orang yang duduk dipemerintahan, mungkin waktu untuk bercanda, bermain pun tidak ada, karena inilah ijtihad hukumnya fardu kifayah.[3]
Keharusan ijtihad
Sejak munculnya Islam, ijtihad telah dilakukan oleh nabi. Hanya saja, ijtihadnya nabi berbeda dengan ijtihadnya orang lain. Karena apabila beliau melakukan ijtihad dan hasilnya tidak benar beliau langsung mendapat teguran dari allah Swt. Sebagaimana tentang masalah tawanan perang badar, apakah mereka di bunuh atau dibebaskan dengan syarat pihak kafir Quraisy mengganti dengan uang atau tebusan. Ijtihad juga dilakukan oleh para sahabat ketika timbul permasalahan baru yang hukumnya tidak di jelasakn dalam al-Quran ataupun al-Hadist secara jelas. Begiti pula ketika wilayah Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat yang berakibat bercampurnya umat Islam (baca: bangsa Arab) dengan bangsa lain baik dari aspek tradisi, kebiasaan dan sebagainya maka para ulama’pun di tuntut untuk berijtihad. Terlebih ulama setelah periode sahabat sering melakukan ijtihad karena permasalahan yang di hadapi semakin kompleks[4].
Apabila kita melihat kehidupan manusia yang terus berkembang dalam segala bidang mulai dari teknologi, kedokteran, ekonomi, pemerintahan, sosial kemasyarakatan dan bidang-bidang yang lain tentu semua itu akan membawa imbas munculnya masalah atau hal-hal baru yang akan di hadapi manusia. Dan tentunya orang Islam di tuntut untuk mengetahui hukumnya, karena mereka mau tidak mau akan terlibat langsung atau terkena imbasnya. Sebagai misal, dalam bidang pemerintahan adanya sistem demokrasi, pemilu dan dalam bidang kedokteran ada masalah cloning, penentuan garis keturunan dengan sistem DNA, belum lagi masalah ekonomi seperti masalah kartu ATM, BANK dengan sistem riba, asuransi dan lain sebagainya. Padahal pada masa ulama’ dahulu atau dalam literatur turast pemasalahan demikian tidak ada kejelasan hukumnya secara tersurat—melainkan masih tersirat dalam teks. Oleh karena itu untuk memahami dan mencari hukum yang tersirat tersebut bukanlah hal yang gampang, dan usaha ini bisa dikatakan sebagai ijtihad dalam arti yang luas.
Merupakan tanggung jawab bersama bagi orang Islam, terutama para pemikir, cendikiawan (ulama’) untuk memahami, membahas, dan mencari sumber hukum di dalam al-Qura’an dan al-Hadist yang tetap berpegang pada kaidah-kaidah penggalian hukum (istimbat al-Ahkam), sekaligus memperhatikan situasi dan kondisi—kultur masyarakat. Sehingga hukum-hukum yang dihasilkannya pun tidak bertentangan dengan kemaslahatan manusia. Dan usaha semacam ini pun harus tetap berjalan seiring dengan perkembangan zaman.
Ijtihad juga merupakan suatu metode yang bisa menunjukkan, memberitahu dan membuktikan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, rahmatal lil ‘âlamin dan bisa diterapkan dalam ruang dan waktu dimanapun manusia berada. Karena setiap masalah yang dihadapi manusia akan selalu bisa dicari penyelesaian serta hukumnya . Disinilah kita bisa melihat betapa urgensinya ijtihad saat ini .[5]
Ruang lingkup ijtihad
Dari dahulu, mulai Islam ada di muka bumi, ijtihad yang dipraktekkan oleh nabi, sahabat, tabi`in dan ulama’ sudah tidak diragukan lagi memakai sistem atau cara yang sudah ada seperti yang tercantum dalam kitab-kitab usul fiqih. Walaupun pada masa nabi sampai munculnya Imam Syafi’i cara yang di pakai belum temodifikasi dalam sebuah karya tulis. Salah satu dari kaidah dalam ijtihad adalah memperhatikan masalah yang ada, apakah masalah tersebut sudah ada dalam al-Qur`an dan al-Hadis secara pasti (qath’i) atau tidak. Dalam hal ini masalah-masalah yang diperbolehkan untuk berijtihad dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Masalah yang sudah jelas (qath`i) hukumnya dalam qur`an dan hadis baik wurudnya (mutawatir) atapun dilalahnya.
2. Masalah yang hukum-hukumnya tidak ada nasnya akan tetapi telah di sepakati oleh seluruh mujtahidin bahwa hal ini bukan wilayah ijtihad. Dan ini hanya sedikit sekali seperti nenek dapat seperenam dari harta warisan, sebagi ashâbul furud atau terhalangnya cucu laki-laki karena adanya anak laki-laki .
3. Akidah dan Moral seperti iman pada Allah, iman pada Al-Qur`an, berkata jujur, berbohong.
4. Masalah yang hukumnya didasarkan pada teks (nash) yang dhanni baik dilalahnya maupun wurudnya. Dan usaplah kepalamuâ€, adalah dhanni. Dilalahnya apakah dalam wudhu yang di usap seluruh kepala atau sebagian? apakah bagian mua`alaf harus diberikan bagi yang berhak tanpa melihat kondisi umat Islam apakah kuat atau tidak[6].
5. Masalah yang tidak dijelaskan atau tidak ada dalam al-Qur`an dan al-Hadist.
Mengetahui hal ini adalah suatu hal yang sangat urgen karena bisa menghindari dari suatu kesalahan dalam melakukan ijtihad. Atau agar para pemikir dalam melakun ijtihad tidak keluar dari frame atau rel ijtihad.
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa Imam Syafi’i telah mengingatkan atau menunjukkan dua perkara yang sangat penting :
1. Mendahulukan kaidah umum dari pada qiyas yang bersifat juziyah. Karena itulah wajibnya qisos atas pembunuhan dengan senjata yang berat, karena menghawatirkan akan terjadi banyak pembunuhan, dan penafian kaidah qisos.
2. Tidak melakuan qiyas dalam ibadat .
Imam Zarkasi menjelaskan belbagai permasalah yang boleh di ijtihadi atau tidak. Bahwa masalah yang sudah jelas (qath`i) tidak diperkenankan ijtihad, baik secara dilalahnya ataupun wurudnya. Adapun masalah yang ada perbedan pendapat seperti kewajiban zakat harta milik anak kecil, masalah shalat witir, apakah wajib atau tidak. Serta dari belbagai permasalah yang tidak ada nasnya atau ada dalilnya yang masih samar maka boleh ijtihad[7].
Dr. Wahbah Zuhaili dalam karya agungnya “Ushul Fiqh al-Islami†menjelaskan permasalahan yang tidak boleh di ijtihadi adalah masalah yang hukumnya sudah diketahui secara pasti (dharuri) atau yang dilalah maupun wurudnya sudah pasti. Seperti shalat, zakat, puasa, mencuri, zina dan sbagainya. Adapun masalah yang boleh diijtihadi adalah kebalikannya.[8]
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup ijtihad hanya diperkenankan pada nomer empat dan lima. Dalam hal ini tidak ada bedanya apakah ijtihad diterapkan pada masa sekarang atau masa yang telah lampau, ruang lingkup ijtihad tidak akan berubah. Karena kaidah ijtihad ataupun aturan meteodologi dalam pengambilan hukum akan tetap sesuai dengan kondisi, ruang dan waktu dimanapun manusia berada. Karena aqidah adalah iman terhadap allah, rasul, malaikat dan masalah tauhid. Sedangkan moral adalah hal yang sudah di ketahui tanpa perlu pemikiran yang mendalam karena setiap manusia dengan akal dan naql tahu bahwa moral yang baik itu terpuji sedangkan moral yang buruk itu tercela.
Bentuk ijtihad yang tepat
Saat Baghdad runtuh ditangan tentara mongol—Holago— merupakaan saat-saat di mana Islam mengalami kemunduran dan kemerosotan dalam berbagai bidang, mulai dari keilmuan sampai masalah persatuan dan kesatuan.Yang menyedihkan adalah kemerosotan dan kemunduran Islam dalam bidang ilmu pengetahuan terutama ilmu fiqih. Dimana pada saat itu fiqih dalam keaadan jumud sehingga berimbas menjamurnya taklid di kalangan umat Islam. Mereka lebih mendahulukan kepentingan dunia dari pada kepentingan akhirat. Ulama`sibuk dalam mengarang kitab tapi hanya meringkas dan mensyarahi kitab-kitab pendahulunya (masa syarah dan hawasyiyah), Ulama yang berijtihad jumlahnya sedikit sekai, bisa di hitung dengan jari. Tidak seperti abd-abad sebelum hancurnya kota Baghdad, walaupun ada istilah taqlid tapi kadar dan jumlahnya sedikit[9].
Hal itu terus berjalan sampai sekarang, di mana saat ini, istilah atau jargon taklid adalah suatu hal yang wajar dan populer. Fikih dalam keaadaan jumud dan statis, para pengikut madzhab sibuk menyalahkan pendapat madzhab lain, mengunggulkan pendapat madzhabnya (ta’asub al-Madzhab) dari pada belajar ilmu yang berguna dan berfaedah untuk menggali hukum. Apalagi didukung oleh ucapan beberapa ulama` yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup, yang membawa pengaruh luar biasa terhadap kemandekan dan kejumudan ilmu fiqih. Sampai saat munculnya para ulama’ pembaharu Islam yang berusaha untuk memajukan peradaban Islam dalam berbagai bidang terutama fikih, dengan mengusung ide-ide kebebasan berfikir [10].Sampai munculnya ide dari ulama` yang berkutat dengan fiqih untuk melaksanakan ijtihad kolektif guna menentukan permasalahan hukum yang ada [11].
Menurut penulis, ide ini merupakan ide yang cocok dan sesuai dengan keadaan saat ini. Dimana orang yang mencapai tingkatan ijtihad pada saat ini jumlahnya sangat sedikit sekali bila di bandingkan dengan prosentase jumlah orang Islam. Di samping itu dalam ijtihad kolektif (ijtihad al-Jama’i) ada keunggulan yang tidak dimiliki dalam ijtihad individu (ijtihad fardhiyah). Hasil yang di capai dalam ijtihad kolektif akan lebih baik dan terhindar dari kesalahan, karena para pemikir atau orang yang membahas dalam ijtihad tersebut adalah orang yang berkompeten dalam bidangnya. Misalnya, membahas masalah ekonom,i disitu kumpul ahli ekonom, ahli fikih, tafsir, hadist, bahasa, sejarah dan lain sebagainya sesuai dengan masalah yang di bahas. Sebenarnya ini bukan-lah hal yang baru pada periode sahabat, mereka juga melakukan sistem ijtihad kolektif, seperti yang dilakukan sahabat Abu Bakar, Umar bin Khatab dalam mencari hukum dalam suatu permasalahan. Abu bakar r.a. dalam menggali hukum, pertama-tama yang dilakukan adalah melihat dalam al-Qur`an lalu al-Hadist kalau tidak ada beliau mengumpulkan para sahabat. Hal serupa juga dilakukan sahabat Umar, Usman dan Ali. Jadi ijtihad kolektif bukan merupakan hal yang baru walaupun mungkin bentuk dan cara yang di pakai saat ini berbeda dengan jaman para sahabat [12].
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa ijtihad dilihat dari segi pelakunya terbagi menjadi dua; yaitu Ijtihad fardiah (individu) dan Ijtihad jama’i (kolektif). Ijtihad fardiah adalah ijtihad yang dilakukan oleh seorang fakih dalam menggali hukum masalah tertentu dari Qur`an dan Hadis. Adapun ijtihad jamai adalah ijtihad yang dilakukan oleh beberapa orang yang berkompeten dalam bidangnya dalam mencari hukum suatu masalah berdasarkan Qur`an dan Hadis. Ijtihad kolektif ini sudah diterapkan di berbagai penjuru dunia. Di indonesia NU telah menerapkan ijtihad ini dalam bentuk bahsu masail, di Mesir lembaga yang menerapakan ijtihad model ini adalah al-Azhar yang di tangani oleh lembaga â€Majma’ul buhus al-islamiah, “Majlis a`la†yang merupakan gabungan negara Mesir dengan negara Suryah, di Arab saudi dibentuk “Majallah al- Syar‘iyah†yang mengikuti madzhab Imam Hambali, di Kuwait di bentuk badan “Wizarutul al au`qof wa al-Syuûn al- Islmiyah†dan lain sebagainya[13] .
Faktor –faktor kontemporer yang bisa merubah ijtihad turost
Dalam hukum Islam terdapat hukum yang tetap, abadi sepanjang masa, tidak terpengaruh ruang dan waktu di mana manusia berada. Begitu pula tidak terpengaruh keadaan sekitar kecuali dalam keadaan yang mendesak, di samping terdapat hukum yang bisa berubah yang bisa disesuaikan dengan keadaa, ruang dan waktu dimana manusia berada. Kenapa terdapat hukum yang demikian ? tidak lain adalah untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang paling akhir, agama yang rahmatal lil a`lâmin bisa diterapkan pada keadaan dan situasi apapun, dimana saja manusia berada, entah hidup di negara manapun. Disamping itu Islam adalah agama yang mudah, tidak berat bagi manusia.
Hal-hal yang bisa merubah atau mempengaruhi hukum Islam adalah:
1. Kemerosotan moral, seperti penambahan hukum cambuk bagi peminum, pada masa Umar menjadi delapan puluh disaat zaman nabi dan Abu bakar hukuman bagi peminum di cambuk empat puluh kali.
2. Perkembangan zaman dan aturan-aturan modern, seperti sahnya jual beli tanah yang batas-batasnya telah tertulis dalam akte tanah padahal zaman dahulu untuk mengesahkan jual beli tanah harus menyebutkan batas-batasnya. Karena hal itu lebih mudah dan praktis .
3. Perubahan adat atau tradisi dan tempat, seperti diperbolehkan mengambil upah atau gaji sebagai hasil jerih payah dalam mengajar al-Qur`an, menjadi imam, menjadi khatib. Dimana pada zaman dahulu biaya hidup orang yang profesinya seperti diatas adalah tanggung jawab negara, tapi sekarang keaadan telah berubah dimana negara tidak mau lagi membiayai [14].
4. Perubahan kemaslahatan, seperti hukum bolehnya membukukan al-Qur`an yang terjadi pada masa sahabat Abu bakar, pembukuan hadist pada masa Umar bin Abdul Aziz.
5. Perubahan keadaan atau kondisi masyarakat, seperti tindakan sahabat Umar dalam penundaan penarikan zakat hewan pada tahun paceklik, tidak diberlakukannya hukum potong tangan bagi pencuri pada musim paceklik. Hal ini (tidak ada potong tangan ) alasan yang dipakai Umar tidaklah karena berdasarkan kemaslahatan pada saat itu tetapi disesuaikan dengan kaidah fiqih (الØدود تدرأ با الشبهة).
6. Karena ada dharurat seperti di ma’funyanya tahi burung dara di mekah karena sulit dihindari .
Perubahan diatas hanya terjadi pada hukum yang sifatnya ijtihadi (hukumyang dihasilkan dengan metode qiyas, istihsan, masoâleh al-Mursalah, Saddu al- dzarâ i`) yang berhubungan dengan muamalat atau urusan dunia, kebutuhan perdagangan, ekonomi, kenegaraan. Maksud dari semua perubahan di atas adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan. Adapun hukum yang sifatnya ta’abudi ukuran-ukuran sara’, moral dan ushûl al-Syari’ah yang abadi maka tidak akan terjadi perubahan, bagaimanapun bentuk situasi, kondisi, ruang dan waktu, hukum akan tetap dijalankan kecuali dalam keadaaan yang mendesak atau dharurat karena sebagaimana dalam kaidah ushul fikh “dharûratu tubihû al-Mahdhurât†(kondisi yang mendesak melegalkan perkara yang asal hukumnya haram[15]).
Penyimpangan Ijtihad
Tidak diragukan lagi bahwa pendapat ada dua macam; benar atau salah atau dengan kata lain sesuai dengan syari’at atau tidak. Dalam al-Qura`n dan al-Hadist banyak sekali dalil-dalil yang menyinggung tentang penyimpangan pemikiran dalam memahami agama—tidak sesuai dengan Syari’at. Hal ini dikarenakan masalah yang ada di dunia tidak semua dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadist secara terperinci, sebagaimana memahaminya hanya bisa dilakukan melalui pendekatan bahasa; yaitu memahami gaya bahasanya sekaligus menyingkap maksud dari satu lafadz yang mempunyai beberapa arti. Tetapi, begitu pula sebaliknya, ada juga beberapa masalah yang dijelaskan oleh al-Qur’an secara terperinci, seperti halnya masalah warisan, hukum jinayat dan lain sebagainya[16].
Secara garis besar pendapat atau ijtihad yang benar atau salah dapat di ketahui dengan memahami batasan-batasannya, adapun batasan pendapat yang benar adalah semua pendapat yang dihasilkan dengan memakai system atau metedologi yang dibenarkan oleh syariat. Dalil yang membuktikan bahwa semua pendapat itu tidak tercela adalah hadist nabi yang masyhur pada peristiwa diutusnya Mua’d ke Yaman yang artinya:
“ Wahai Mua’d engkau memutuskan suatu masalah dengan apa? Mua’d menjawab: dengan kitab allah, nabi berkata; apabila tidak kamu temukan? Ia menjawab: dengan sunnah rasulullah, nabi berkata; apabila tidak ditemukan ? Ia menjawab; saya akan berijtihad, lalu nabi berkata; segala puji bagi allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan rasulullah dengan cara yang di ridlai allah dan rasulnyaâ€.
Imam Sya’rani dalam kitab “Mizan al- Kubro†menjelaskan bahwa pendapat yang benar adalah pendapat yang sesuai dengan ketetapan syari’ah (Nusûs al-Syar’îyyah)[17].
Pendapat yang salah adalah pendapat yang sudah ada nas-nya dalam al-Qura`n dan al-Hadist secara jelas (shârih) atau tidak memakai sistem dan garis-garis yang telah ditentukan oleh para ulama’[18]. Imam ibnu Qayyim membagi pendapat menjadi tiga: pertama, pendapat yang benar, kedua, pendapat yang sudah jelas salahnya dan ketiga, pendapat yang masih samar. Pendapat yang benar di gunakan dalam berfatwa dan beramal kebaikan, untuk pendapat yang salah ulama melarang memakainya atau menfatwakannya untuk memutuskan suatu hukum, adapun pendapat yang ketiga hanya boleh di pakai dalam keadaan mendesak saja.
Macam-macam pendapat atau ijtihad yang salah:
1. Pendapat yang tidak sesuai dengan ketetapan syari’at. Termasuk hal ini adalah pendapat yang tidak memakai nas-nas syari’at dengan dalih kemaslahatan atau maqâsid al-syâri’ah seperti tidak adanya hukum qisos dalam masalah pembunuhan dengan sengaja. Karena qisos menurut pendapat ini tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan HAM. Seperti, hukum potong tangan dalam masalah pencurian dengan dalih maslahat. Juga pendapat atau ijtihad dengan hanya memahami kitab dan sunah di lihat dari dhahirnya saja tanpa melihat nilai-nilai yang terkandung dalam teks, termasuk pendapat yang sesat. Karena hal ini kan mengakibatkan Islam menjadi statis dan jumud sehingga tidak bisa diterapkan—syari’at— pada segala kondisi, ruang dan waktu [19]
2. Pendapat dalam memahami teks-teks agama (nusûs al-Syar’iyyah) dan penggalian hukum (istimbât al-Ahkâm) hanya berdasarkan pada perkiraan atau dugaan semata.
3. Pendapat yang mengosongkan allah dari sifat-sifatnya, nama-namanya, dan tindakannya dengan analogi-analogi yang salah sesuai dengan analogi yang ditetapkan oleh ahli bida`h dan orang sesat.
4. Pendapat yang telah dikeluarkan oleh ahli bida`h dan merubah sunah-sunah nabi.
Empat pendapat ini sudah disepakati oleh ulama’zaman dahulu dan sekarang. Menurut Abu A’mr bin Abdul Rahman yang di nukil dari sebagian besar ulama’, pendapat yang salah dalam urutan kelima adalah pendapat dalam syari’at Islam dengan †istihsan†dan dugaan, sibuk menghafal hal-hal yang sulit dan hal-hal yang salah serta menganalogikan satu furu’ dengan yang lain tidak mengembalikannya pada al-Qura`n dan al-Hadist[20].
Ijtihad dan Batasan-batasannya
Ijtihad sebagai mana diterangkan di atas hukumnya adalah fardu kifayah. Perkembangan yang terjadi saat ini dan yang akan datang akan memunculkan masalah-masalah baru, yang tentunya akan butuh penyelesain hukum yang berpegang pada syari’at . Selama kita memahami bahwa sareat bisa diterapkan pada kondisi apapun dan pada ruang dan waktu dimanapun manusia berada. Ijtihad harus tetap terus dilakukan. Untuk itu perlu ada batasan-batasan ijtihad agar tidak dijadikan sebagai salah satu cara untuk merusak Islam dan juga agar orang-orang yang tidak berkompeten terutama yang bermoral rendah tidak semena-mena dalam berijtihad.
Batasan-batasan ijtihad kontemporer:
1. Harus melihat masalah yang di ijtihadi apakah termasuk ruang lingkup ijtihad apa tidak. sehingga tidak melakukan ijtihad secara serampangan pada setiap masalah, entah itu sudah dijelaskan ole qura`n dan hadis secara pasti atau tidak.
2. Tidak memakai cara orang-orang yang suka mempermainkan agama atau ahli bida’h; yaitu orang –orang yang memindah nas yang sudah jelas kearah nas yang tidak jelas, yang bisa diijtihadi. karena hal ini apabila diterapkan maka neraca atau jembatan untuk menentukan salah dan benar tidak bisa dipertanggungjawabkan.
3. Wajib melihat tingkatan dalam hukum-hukum sarea’t. Dalil yang sifatnya “qhat’i tetap qhat’i’†tidak perlu ada perubahan ke dhanni ataupun sebaiknya .
4. Hendaknya tidak terpengaruh dengan keadaan yang ada. karena sarea’t allah diturunkan ke muka bumi agar menyesuaikan dan ikut keadaan atau tradisi tapi justru keadaanlah yang harus tunduk dan ikut sarea’t allah.
5. Hendaknya tidak selalu berusaha menentang hal hal yang baru walaupun bermanfaat dan tidak mengindahkan hal –hal yang asing walaupun baik tetapi yang harus diperhatikan adalah membedakan mana hal yang baik yang harus kita ambil, mana hal yang buruk yang haruskita buang. Dan mana yang wajib ditentang dan mana pula yang tidak wajib serta membedakan mana hal yang bisa menerima perkembangan dan tidak .
6. Harus memahami bahwa mujtahid adalah manusia, yang bisa salah .
Disamping itu harus memperhatikan dua perkara yang tidak kalah pentingnya dengan hal diatas yaitu:
1. Orang yang berijtihad harus memenuhi syarat yang telah disebutkan dalam kitab-kitab Usul fikih .
Ijtihad saat ini tidak hanya memunculkan pendapat-pendapat yang baru sebagai jawaban atas masalah-masalah yang muncul, tetapi juga melihat pada dalil –dalil qura`n dan hadis tanpa terkekang oleh suatu madhab tertentu[22]. Dan penulis kira dalam ijtihad seseorang juga harus melihat kapasitas dirinya ditingkatan atau level mana mana dirinya?. Apakah termasuk mujtahid mutlak atau mujtahid fatwa atau bahkan mungkin termasuk mujtahid tarjih. karena dengan mengetahui kapasitas diri, seseorang tidak akan salah jalan atau tersesat dalam melakukan sesuatu dan mengarungi hidup.
Tertutupnya Pintu Ijtihad
Pada abad ke 4 H negara Islam tepecah belah, persatuan dan kesatuan negara Islam dalam keadaan yang menghawatirkan, di tambah dengan terputusnya hubungan politik antara negara Islam. Sebagai imbasnya, kebebasan berfikir surut, mandegnya perkembangan ilmu pengetahuan, merebaknya fanatisme madzhab yang berlebihan, saling bertikai antara sesama ulama, dan lebih parahnya lagi banyak para ulama yang lebih mementingkan urusan materiil belaka dari pada urusan umat serta daya kreativiats dan inovasi ulama’ tumpul, yang hanya bisa meringkas dan mensyarahi kitab-kitab sebelumnya.
Karena lemahnya benteng agama, sebagian ulama merasa khawatir akan rusaknya kekokohan bangunan fiqih yang telah dibangun oleh ulama’ sebelumya, sehingga mereka memunculkan ide keharusan bermadhab dan menfatwakan tertutupnya pintu ijtihad. Hal ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran para ulama atas orang-orang yang tidak berkompeten dalam bidang ijtihad akan melakukan ijtihad. Menurut Muhammad Sai’d al-Bani alasan ini karena ada unsur politik yang terjadi saat itu, apabali alasan ini telah hilang maka secara langsung akan kembali ke keadaan semula yaitu terbukanya pintu ijtihad karena tidak ada dalil yang mendukung atas ide tertutupnya pintu ijtihad dan itu hanyalah ide kosong karena tidak didasarkan pada dalil syara’.[23]
Pada zaman dahulu para ahli fikih menggai hukum dari qura`n dan hadis dan meninggalkan bagi manusia setelahnya sesuatu yang sangat berharga yaitu ilmu turast, yang tidak dimiliki oleh agama sebelum Islam maupun sesudahnya, dan usaha untuk menggali ilmu dari qura`n dan hadis akan senantiasa berlangsung terus tanpa henti. Dari sinilah perlu di pahami bahwa perjalanan fikih islami tidak hanya terbatas pada abad-abad tertentu. Diantara ulama’ yang memunculkan ide tertutupnya pintu ijtihad adalah Imam Rofi’i beliau berkata; manusia seakan -akan sepakat bahwa saat ini tidak ada mujtahid. Apakah pintu ijtihad benar –benar telah tertutup ?. Ini adalah sesuatu yang masih menjadi perdebatan dan memunculkan beberapa pendapat. Tetapi yang rojih atau yang unggul[24] adalah pendapat Ibnu Muflih, Ibnu Ham, dan Ibnu ‘Uqail dari hanabilah dan Qodhi Abdul Wahab dari malikiah, ini diperkuat oleh sejarah, ternyata pada abad –abad setelah nya muncul ulama yang berkapasitas untuk melakukan ijtihad seperti; Ibnu Daqiq al I’d, Imam Suyuti, Ibnu Taimiyah, Imam Syaukani.[25]
DR.Wahbah Zuhaili juga termasuk orang yang mendukung pendapat pintu ijtihad tidak tertutup beliau mengatakan: “sesungguhnya pintu ijtihad akan selalu terbuka bagi setiap orang yang mempunyai kapasitas, sehingga tidak menghalangi kebebasan berfikir, berpendapat dan menggunakan apa yang dimiliki manusia. Tidak boleh dikatakana bahwa pintu ijtihad telah tertutup sehingga membutuhkan kunci untuk membukanya, karena pendapat tertutupnya pintu ijtihad tidak bisa di terima dari asal mulanya apalagi dari ucapan ulama abad ke empat hijriyah.
Mungkinnya Ijtihad
Ijtihad merupakan bukti bahwa tasyri’ Islam masih terus berjalan seiring dengan perkembangan zaman. Islam dan fikih tidak akan kekal dan berkembang selama ijtihad tidak hidup, mandek, statis. Ijtihad harus tetap ada dan dilegalkan sebagai akibat dari perkembangan zaman dan berkembangnya Islam di berbagai penjuru dunia. Apalagi pada masa ini, dimana perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi begitu pesat, masalah kenegaraan, perdagangan yang bentuk dan caranya yang baru tentunya untuk mengetahui hukum masalah diatas memakai ijtihad. Hendaknya kita harus berani melakukan ijtihad tidak perlu merasa takut dan bangkitkan semangat dalam mempelajari agama, terutama yang bekaitan dengan ijtihad dan mengadakan diskusi untuk membahas masalah-masalah yang muncul .
Bersikap malas, tidak mau gerak, menerima apa adanya dan rela terhadap apa yang telah di capai fikih klasik, yang dalam keadaan jumud, statis dan terlambat dalam menanggapi dan kurang respek terhadap perkembangan, baik teknologi maupun keilmuan merupakan sikap yang tidak di sukai Allah dan rasulnya serta tidak akan di terima oleh setiap orang Islam yang punya ghirah tinggi terhadap agama .
Ijtihad saat ini masih mungkin dilakukan dan tidak akan sulit selama kita mengubur dalam-dalam anggapan dan mimpi-mimpi bahwa ijtihad itu adalah suatu hal yang mustahil. Kita hilangkan penyakit, kotoran yang ada di hati dan pikiran kita yang telah terkontaminasi oleh kemunduran dan kemalasan yang diwariskan oleh orang –orang zaman dahulu dan punya dugaan salah bahwa kita tidak mungkin mencapai tingkat mujtahid, seakaan-akan itu adalah hal yang mustahil.
Mencapai tingkat ijtihad pada saat ini tidaklah sulit karena telah terbukukannya semua ilmu pengetahuan apalagi yang berhubungan dengan ijtihad dan banyaknya karangan-karangan dalam bidang usul fikih. Hanya saja bahwa ijtihad mutlak yang bisa membuat metode dan kaidah baru untuk istinbat al-Ahkam (penggalian hukum)t idak ada saat ini, adalah hal yang tidak di ragukan lagi.
Imam ibnu A’bdi al-Salam dalam kitab syarah “mukhtasor ibnu Haji†berkata: tingkat ijtihad bisa di capai, ijtihad merupakan syarat dalam berfatwa dan memutuskan hukum. Ijtihad akan terus ada sampai pada zaman dimana ilmu akan hilang seperti sabda nabi Muhammad SAW. dan saat ini kita belum sampai pada zaman itu, apabila tidak demikian maka umat islam akan sama –sama salah dan ini tidaklah benar .
Imam Suyuti dalam menaggapi ucapan tersebut berkata; “lihatlah bagaimana beliau menjelaskan bahwa tingkat ijtihad tidakaklah sulit dan masih ada pada zamannya dan umat akan tersesat apabila ijtihad tidak ada dan itu adalah hal yang mustahil[26]â€.
Penutup
Dari paparan diatas kita bisa tahu bahwa betapa pentingnya ijtihad pada aat ini, karena ijtihad merupakan satu-satunya cara untuk mengetaui hukum-hukum Islam yang tidak ada kejelasaanya dalam al-Kitab, baik saat ini maupun bagi masa yang akan datang. kita bisa tahu bahwa Islam adalah agama yang akan selalu menerima hal-hal yang baru dan tidak akan selalu mencela, membuang apalagi mengabaikan hal-hal yang sifatnya membangun dan memberi manfaat bagi manusia, tentunya selama tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah umum dalam Islam. Dan kita bisa tahu bahwa Islam adalah agama yang akan selalu bisa diterapkan pada setiap kondisi, ruang dan waktu dimanapun manusia berada .
Cukup sekian saja dari penulis, apabila banyak kata-kata yang salah mohon maaf, kritik dan saran dari pembaca selalu kami harapkan.
------oo0oo------
[1] Al subki, Syarah Jam’u al-Jawâmi’, juz 2 hal. 379
[2] Mannâ al-Qattân, Târîh-hhhhhhhkl al-tasyrî’ al-Islamî, Maktabah al-Ma’arif li al-Nasyri wa al-Tauzî’, Riyadh, cet. III, 2002, hal. 110
[3] Dr.Yusuf Qardhawi, Madkhal li Dirasatil Syari’ah al-Islamiyyah, Maktabah Wahbah, cet.5 hal. 278. Lihat pula, Muhammad Sa’id al-Bani, Umdatu al-Tahkik fi al-Taklid wa al- Talfik, hal. 60
[4] Mannâ’ al-Qattân, Târihk al-Tasyrî’ al-Islami, op. cit. hal. 124
[5] DR.Yusuf Qardlawi, Syari’atu al-Islam Shâlihun li al-Tatbiq fi Kulli Zaman wa Makan, hal. 79
[6] Muhammad Sa’id al-Bani, Umdatu al-Tahkik fi al-Taklid wa al-Talfik, op. cit. hal. 49
[7] DR.Ali Juma`h, ‘Âliyatu al-ljtihad, hal. 28
[8] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh, juz.II, hal. 340
[9] Mannâ’u al-Qattân, Târikh Tasri’ al –Islami, lok. Cit. hal. 124. Lihat juga, Muhammad Hudlari bik, Tarihk Tasyrik al-Islami, hal. 265
[10] Seperti Imam Abduh, Rasyid Ridha, Yusuf Qardhawi, Ibid, hal. 265
[11] Ibid, hal. 265
[12] Mannau’l qotton .tarihk tasrik islami, lok. Cit. hal. 110
[13] Mannâ al-Qattân, Târîh-hhhhhhhkl al-tasyrî’ al-islamî, Maktabah al-Ma’arif li al-Nasyri wa al-Tauzî’, Riyadh, cet. III, 2002 h.405
[14] Adat (tradisi) secara bahasa adalah hal-hal yang biasa di lakukan oleh suatu komunitas. Sedangkan secara istilah adalah sesutu yang dibiasakan dan dijalankan manusia. Dalam hal ini adat bisa di petakan menjadi dua; yaitu “ adat yang baik†dan “adat yang burukâ€.
Hal yang perlu diperhatikan dalam melihat suatu masalah apakah termasuk adat atau tidak memerlukan ketelitian dan kejelian terutama melihat suatu ketetapan syari’at. Karena penulis melihat orang-orang sekarang mudah mengatakan nas atau hukum yang telah dicetuskan ulama’ itu berdasarkan adat suatu bangsa tertentu padahal kalau penulis lihat hal itu masih perlu di pertanyakan kebenarannya seperti masalah khitan bagi perempuan dan cadar bagi perempuan.
[15] wahbah zuhaili,usul fiqih al-islami, darul fikri ,cet.14 2006 juz dua hal 398.Yusuf Qordhowi madhkol lidirosatil sariah al-ilamiah hal 220.al u’rfu indal usuliyin.hal.89
[16] Muhammad sa’id albani,umdatul tahkik fil taklid wal talfik, hal :30
[17] ibid
[18] ibid
[19] DR.Yusuf qor dawi, al siyasah al sariyah, hal:228
[20] DR.Yusuf Qardlawi, a-Siyâsah al-Sar’iyyah, h. 60
[21] DR.Yusuf Qardlawi, adhol lidirosatil sariah al islamiah hal :278-290
[22] DR. Wahbah zuhaili, usul fiqih al islami juz 2 hal 370
[23] DR. Wahbah zuhaili, usul fiqih al islami juz 2 hal 370
[24] Pendapat yang rojih adalah pndapat yang menyatakan bahwa pintu ijtihad tidak tertutup.
[25] DR.Ali juma`h, aa`liyatul ijtihad hal:94
[26] DR. Wahbah zuhaili, usul fiqih al islami, juz 2 hal:372
Serta sumber yang lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar